Mohon tunggu...
Arif Darmawan
Arif Darmawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerja Keras

8 Januari 2017   09:19 Diperbarui: 8 Januari 2017   10:07 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mewawancarai seorang kuli bangunan, di dekat rumah saya. Namanya adalah Ade suryadi lahir di Cirebon 12 Agustus 1970 ini Biasa di panggil Mang Ade. Ia datang ke Jakarta, karena melihat keberhasilan teman-temannya yang lebih dulu berangkat ke Jakarta. Di desanya, ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dengan latar pendidikan yang hanya tamat sampai bangku SMP, ia adalah seorang pekerja bangunan yang hanya membantu bila ada tetangganya yang meminta tolong.

Setibanya di Jakarta, dengan modal nekad dan niat yang kuat, ia hanya bisa terpana melihat Jakarta. Jakarta terlalu jauh dari yang ia bayangkan. Pada awalnya, ia hanya tinggal seadanya. Sampai akhirnya, ia bertemu seorang kawannya yang bekerja sebagai tukang bangunan. Kawannya itu mengajaknya bekerja menjadi seorang kuli bangunan. Walau penghasilannya tidak seberapa, tapi setidaknya ia dapat bertahan hidup dan dapat memenuhi kebutuhan seadanya. Ia pun dapat tinggal di tempat yang bisa dikatakan cukup layak.

Ade Suryadi ini memiliki 2 orang anak laki-laki bernama Yohan piki prasetya dan Yoga prastiya permana. Ia membersarkan kedua orang anaknya di dampingi sang istri bernama Atika yang berkerja sebagai ibu rumah tangga, dan sang istri juga membuka usaha kecil-kecilan dengan menjual Mie ayam di depan rumahnya. Dan sekarang kedua anaknya sudah bekerja untuk meringankan kedua orang tuanya. Istrinya hanya ibu rumah tangga. Namun, dengan keikhlasan melakoni pekerjaan apa sajayang penting halal, ia mampu mengantarkan kedua anaknya mengenyam pendidikan yang cukup. Bahkan, anak yang paling tua sudah bekerja di PT. Rekit, di daerah Cileungsi.

Pekerjaan menjadi kuli bangunan. Gajinya ketika itu hanya Rp100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya. Mang Ade merasakan bagaimana pahitnya menghadapi hidup tanpa memiliki uang. Untuk membeli beras saja dia kesulitan. Karena itu, dia memilih untuk tidak merokok. Jika dia membeli rokok, besok keluarganya tidak akan mampu membeli beras.

“Kalau kamu masih merokok, malam ini besok kita tidak bisa membeli beras,” ucap istrinya memperingati.

Dia sempat depresi, tetapi bukan berarti harus menyerah. Baginya, kondisi tersebut adalah tantangan yang harus dihadapi. Menyerah berarti sebuah kegagalan.“Mungkin waktu itu saya anggap tantangan. Ternyata ketika saya tidak punya uang dan saya punya keluarga, saya bisa merasakan kekuatan sebagai orang miskin. Itu tantangan,powerfull. Seperti magma yang sedang bergejolak di dalam gunung berapi,” papar Ade 

Namun, semangat dalam dirinya seperti tak terkikis ditelan zaman. Dia melakoni pekerjaannya yang menguras fisik itu dengan ikhlas demi memenuhi kebutuhan hidup anak dan istrinya. Bersyukur, itulah yang selalu ditanamkan dalam hatinya. Meski hidup dalam kondisi penuh kesederhanaan, tak pernah sedikitpun terlontar dari mulutnya kalimat keluhan.

Ade suryadi memiliki harapan yang cukup sederhana. Yakni, ia hanya ingin membahagiakan Keluarganya. Walaupun, mungkin belum sekarang saatnya. Setelah 2 tahun ia berprofesi sebagai tukang bangunan, ia mendapat penghasilan yang tidak seberapa. Sebagian penghasilannya, ia kirimkan ke desanya untuk membantu biaya pengobatan ayahnya yang sedang sakit. Ia selalu menghemat segala pengeluarannya. Ia masih ingin bekerja lebih giat lagi dan berharap menemukan pekerjaan yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Mang Ade, hanya dengan modal niat dan nekad saja, dia berani melakukan suatu hal besar. Ia berani melakukan suatu perubahan dalam dirinya. Ia berani untuk berharap, dan ia berani untuk bermimpi. Ia mencoba dan mau menerima segala resiko, entah baik atau buruk adanya. Ia telah berhasil melakukan suatu langkah yang berarti dalam hidupnya. Kita lihat saja, dulu, ia seorang pekerja yang bahkan tak pasti arah hidupnya. Sekarang, ia mempunyai penghasilan, dan bahkan dapat membantu pengobatan ayahnya, entah dengan pekerjaannya sebagai tukang bangunan.

Yang namanya kuli bangunan, kerjanya kasar, mungkin jaman sekarang banyak orang yang enggan memilih pekerjaan ini dengan berbagai macam alasan. Mungkin karena capeknya juga itu bisa di tebak, statusnya yang kurang bergengsi dll. Apalagi bagi orang orang jaman sekarang yang semakin pintar-pintar saja, bagaimana tidak - misalnya, hanya dengan menggerakan jari saja orang bisa mendapatkan uang banyak, tak perlu capek capek keluar keringat banyak seperti kuli bangunan.

Kuli bangunan itu kerjanya angkat angkat beban berat, batu bata, semen 50 kg, hebel, besi, adukan semen, adukan cor, kerjanya kotor dll. Tetapi, status buruh lepas bisa di bilang punya banyak waktu luang, bagaimana tidak, mereka di di bayar jika mereka kerja, jika tidak maka tidak di bayar juga, tidak terikat, lebih bebas menetukan waktu libur. Ada juga mereka si kuli bangunan yang cukup berpendidikan, jadi tidak hanya mereka saja yang tak makan bangku sekolahan yang umumnya menggeluti pekerjaan ini, tapi mereka yang berpendidikan pun terkadang ada saja yang mau bekerja seperti ini, bukan tanpa alasan, karena faktor keadaan, mencari kerja tak kunjung dapat sesuai bidang pendidikannya, maka terpaksalah pekerjaan ini diambilnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun