Tadi malam kami susah sekali untuk tidur. Wong jam 9 malam kok seperti baru jam 5 sore. Padaaaang banget, terang sekali. Padahal jendela sudah ditutup tirai tebal. Oh, Jerman. Well, usai mbak Nen membacakan satu lembar buku cerita untuk kami, saya rengeng-rengeng. Saya menyanyikan lagu Pangkur untuk anak-anak sebelum tidur. Sudut mata kanan saya menitikkan air mata. Terharu. Nostalgila.
Laaaah, jadi ingat, lagu itu pernah saya nyanyikan dalam lomba tembang macapat tingkat SLTP se-kodya Semarang tahun 89-an. Hahaha, menang juara harapan I. Yah, lumayan daripada hanya mengharap juara. Xixi. Kata jurinya, wah cengkoknya bagus, sayang suaranya metal. Hahaha. Sayanya sih, tidak pakai suara dalam seperti sinden tenanan (penyanyi latar yang menemani pak dalang memainkan wayang). Hiya, wong nyanyinya waktu itu tidak bersimpuh tapi berdiri depan mikrophone diatas panggung. Meniru RIF waktu itu, barangkali. “Aku ingin jadi rajaaa ….“
Terima kasih pak Sunar yang menyemangati saya untuk ikut lomba dan menunggu sampai rekap nilai segala, dan tentunya ibunda saya, yang melatih setiap hari pra lomba. Pangkur? Hayukkkk!
[caption id="attachment_265374" align="aligncenter" width="490" caption="PR, menulis pangkur pakai hanacaraka"][/caption]
Apa itu pangkur?
Ini dikenal sejak jaman Jawa kuno. Wah, kalau di sekolah tidak ada pelajaran bahasa daerah mana bisa generasi penerus saya di Jerman mendengar Pangkur? (Haaa ini barang langka di Jerman, lhooo).
Pangkur jadi warisan budaya yang apik dan saya gotong sampai Jerman, setidaknya untuk kalangan sendiri. Nanti kalau saya menyanyikannya didepan orang Jerman, nguantuk barangkali.
OK. Pangkur itu adalah salah satu tembang macapat yang dikenal rakyat Jawa. Jumlah barisnya ada 7 atau kami menyebutnya, pitung gatra. Pitu=tujuh dan ng adalah akhiran yang mengaitkan dengan kata kedua, gatra atau baris. Kunci vokal yang bisa ditemukan pada huruf terakhir yakni: 8 - a, 11 - i, 8 - u ,7 - a, 12 - u, 8 - a dan 8 – i.
Contohnya: Sekar pangkur kang winarna dihitung ... Se (1) - kar (2) - pang (3) - kur (4) - kang (5) - wi (6) - nar (7) - na (8a).
Argh. Saya baru tahu bahwa ada tradisi rakyat Jawa yang menyebutkan adanya tumpeng Pangkur. Dikatakan ini dibuat untuk jejaka yang meninggal dan dikirim ke makamnya, tho?
Pangkur juga menjadi nama desa dimana Ken Arok menikmati masa kecil. Ini dijelaskan ada dalam riwayat Ken Angrok.
Tuladha atau contoh tembang Pangkur
Satu bait Pangkur saya hafalkan selama barang sebulan. Berikut satu bait tembang yang nadanya munggah-mudhun atau naik-turun, yang saya nyanyikan tanpa teks waktu itu (walah PD sambil umbelen, ingusan):
Sekar Pangkur kang winarna
lelabuhan kang kanggo wong aurip
ala lan becik puniku
prayoga kawruhana
adat waton puniku dipun kadulu
miwa ingkang tatakrama
den keesthi siyang ratri
Cuplikan artinya (secara sembarangan ala saya) antara lain bahwa dalam kehidupan itu, sebaiknya orang setiap saat mempelajari baik dan buruknya sesuatu, entah itu siang maupun malam (misalnya perihal tata krama atau sopan santun). Pada intinya, berisi nasehat yang baik (jadi ingat kakek Jabat).
Nah, semoga ini mengingatkan Kompasianer yang pernah mempelajari salah satu dari sembilan tembang macapat alit (kecil/awal). Kalau lupa, ngepek atau mencontek juga boleh (seperti saya).
Semoga ini masih lestari dan bertahan di era lagu modern layaknya Gangnam style dari Korea atau Pink Amerika.
Mungkin Kompasianer bukan orang Jawa asli, atau hanya leluhurnya saja yang Jawa, tetangganya yang Jawa atau pernah ke Jawa ... Tak jadi soal. Mari nembang macapat. Kata bapak saya, macane papat-papat (bacanya empat-empat). OK? Salam nguri-uri budaya Jawa. (G76)
Sumber:
1.Pengalaman pribadi
2.Pangkur