Mohon tunggu...
Fredick Ginting
Fredick Ginting Mohon Tunggu... Freelance -

Belajar ilmu politik dari Harold Laswell sampai Samuel Huntington, belajar demokrasi dari Thomas Jefferson sampai Ernesto Laclau. Menonton karya David Fincher sampai Martin Scorsese, mengagumi Charlize Theron sampai Jennifer Lawrence.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Drama Nihilis dalam Debut Tarantino

15 Februari 2017   11:39 Diperbarui: 15 Februari 2017   11:57 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film sederhana bisa jadi bagus. Quentin Tarantino menunjukkan dalam film debutnya. Film tentang perampokan yang dikemas dengan sederhana, tapi efektif untuk membuatnya jadi film kriminal yang penuh kualitas.

Film dibuka dengan delapan pria sedang sarapan bersama di sebuah kafe di Los Angeles. Mereka berdiskusi soal lagu terbaru Madonna kala itu, Like A Virgin. Selesai dengan topik vulgar itu, mereka berdebat soal ‘apakah seharusnya pelayan diberi tip atau tidak’. Pria-pria ini sebenarnya tidak saling kenal. Masing-masing punya panggilan unik seperti Orange, White, Brown, Pink, Blonde, dan Blue yang tentu saja bukan nama asli mereka.

Selesai dari meja makan tersebut, adegan pindah menunjukkan Orange (Tim Roth) bersimbah darah dalam sebuah mobil yang dikendarai White (Harvey Keitel). Kita tahu bahwa kedua pria ini, bersama dengan pria lainnya tadi, baru saja melakukan perampokan di sebuah toko berlian. Tapi aksi kejahatan mereka diketahui oleh polisi, sehingga baku tembak terjadi.

Selanjutnya, kita dibawa ke sebuah gudang yang dijadikan tempat persembunyian bagi mereka. Orange minta dibawa ke rumah sakit, tapi White merasa hal itu terlalu berisiko. Menurut White, lebih baik menunggu Joe Cabot (Lawrence Tierney), pimpinan dari kelompok perampok ini. “Joe akan bawa dokter, kau akan selamat,” hibur White pada Orange.

Joe adalah mafia kriminal yang mengumpulkan orang-orang asing ini. Putra Joe, Eddie ‘Nice Guy’ (Chris Penn). menjadi penghubung antara Joe dan Orange cs. Joe sendiri tidak terlibat langsung dalam eksekusi perampokan itu. Hebatnya, Joe punya insting yang bagus. Tanpa bukti apa-apa, dia bisa tepat menebak siapa pengkhianat di antara mereka.

Yang datang bukan Joe, melainkan Pink (Steve Buscemi). Melalui perdebatan Pink dengan White di gudang itulah, Tarantino perlahan mulai membuka apa yang sesungguhnya terjadi. Pink, yang merasa paling profesional, berpendapat bahwa seorang dari mereka telah membocorkan rencana mereka pada polisi.

White tidak setuju dengan gagasan Pink. Tapi Pink memang sangat logis. Tidak mungkin polisi datang sangat cepat, bila sebelumnya polisi tidak tahu akan ada perampokan di tempat itu. Perdebatan keduanya kemudian melebar ke arah mengapa mereka mau bekerja untuk Joe.

Di tengah perselisihan Pink dengan White, Blonde datang ke gudang. Blonde menawarkan sesuatu kepada Pink dan White, yang bisa menjawab apakah memang ada pengkhianat dalam kelompok mereka. Blonde menyandera seorang polisi.

Polisi itu dihajar habis-habisan oleh Pink dan White agar buka mulut. Sayangnya si polisi mengaku tidak tahu apa-apa soal perampokan itu. Blonde, si psikopat, menyiksa polisi tanpa ampun. Salah satu momen ikonik dan sadistis dari film ini adalah ketika Blonde memotong kuping si polisi. Sama ikoniknya dengan adegan ketika Catherine Tramell menunjukkan isi di balik roknya dalam film Basic Instinct (1992).

Joe, yang marah karena kegagalan itu datang bersama Eddie dan berkumpul dalam gudang tersebut bersama orang-orang yang tersisa. Hanya Blue dan Brown yang tidak ada. Soal ini, ketika diwawancara Tarantino menjawab, “Mereka mungkin mati atau masih hidup, atau bisa jadi tertangkap polisi atau tertembak polisi”. Kedatangan Joe dan Eddie justru akhirnya membuat keadaan semakin kacau. Every dog has its day, dan itulah hari bagi kelompok ini.

Film yang berstruktur tidak linier ini adalah sebuah film sangat sederhana namun cerdas. Film seputar perampokan, tapi kita tak disuguhkan bagaimana perampokan itu terjadi. Banyak dialog-dialog cerdas dan panjang, juga kadang lucu, yang kadang tidak ada kaitan dengan jalan cerita. Bagi Andrew Wickliffe (thestopbutton.com), Tarantino hanya mencoba bercerita sebuah anekdot tragis. Tapi disinilah kekuatan Tarantino, yang jadi khasnya. Tarantino juga tampaknya bukan seorang feminis, karena tidak ada perempuan sama sekali yang jadi pemeran dalam film ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun