Mohon tunggu...
Politik

Dilema Politik Dinasti dalam Alam Demokrasi

22 Januari 2017   06:02 Diperbarui: 22 Januari 2017   07:12 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena dinasti politik lagi-lagi menjadi buah bibir dalam pemberitaan media massa setelah diketahui bahwa tertangkap nya Sri Hartini oleh KPK dalam Operasi Tangkap Tangan terungkap dinasti politik yang langgeng di kabupaten Klaten. Terbukti dalam kurun waktu 15 tahun terakhir kepemimpinan di kabupaten Klaten Jawa Tengah dipegang oleh dua pasangan suami istri secara silih berganti. Selain memperpanjang daftar koruptor kepala daerah juga memperkuat spekulasi bahwa dinasti politik cenderung koruptif. Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2004 sebanyak 350 Kepala daerah tercatat tersangkut masalah korupsi. Sebanyak 78 orang di antaranya ditangkap tangan oleh KPK.

Data tersebut semakin memperkuat keberadaan politik dinasti yang seolah tak pernah mati dan terus tumbuh dalam kehidupan berpolitik. Tak hanya kasus Sri Hartini yang memperpanjang daftar dinasti politik yang korup. Gubernur Banten Ratu Atut Chosiah beserta sanak keluarganya terungkap melanggengkan kekuasaan di Provinsi Banten melalui politik dinasti. Rupanya dengan tertangkapnya beberapa oknum yang terindikasi melanggengkan politik dinasti belum mengakhiri fenomena politik dinasti di Bumi pertiwi ini.

Dinasti politik lebih cenderung kepada sistem monarki, karena di dalam sistem monarki telah terjadi adanya kelanggengan kekuasaan secara turun temurun,  sebenarnya definisi dari dinasti politik itu dapat dimaknai sebagai peralihan kekuasaan golongan dari seorang raja kepada anaknya. Namun ternyata di alam demokrasi ini dinasti politik tetap langgeng dan tetap ada hal tersebut tentu saja bertolak belakang dengan konsep demokrasi yang kita anut. Kemunculan fenomena politik dinasti dapat dikatakan menimbulkan dilema hukum, di satu sisi dalam alam demokrasi kemunculan dinasti politik menjadi hal yang wajar karena dalam pergelaran pemilhan umum  setiap orang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate). Namun disisi lain dinasti politik juga membahayakan demokrasi sendiri karena hasratnya untuk melanggengkan kekuasaan dan melembagakannya dalam perpolitikan.

Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif. Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, pogram dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan. Kecenderungan perilaku yang demikianlah dalam pusaran dinasti politik turut berkontribusi dalam menyuburkan korupsi di Indonesia. selain itu fenomena dinasti politik juga semakin memperkuat teori Lord Acton yang mengatakan bahwa “power tends to corrupts absolute power corrupts absolutely”.

Melihat bahaya dari fenomena dinasti politik maka dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana. Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk mempersempit ruang timbulnya dinasti politik. Namun sayangnya ketentuan ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materil Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015. Dalam putusannya bernomor 33/PUU-XIII/2015 MK mendalilkan bahwa pelarangan tersebut adalah salah satu bentuk diskriminasi dan merugikan hak konstitusional. Padahal jika di analisa melalui kacamata konstitusi kita betul adanya bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dipilih dan memilih sebagaimana telah disebutkan diatas, akan tetapi untuk membaca makna terhadap apa yang telah tersirat di dalam UUD 1945 perlu adanya suasana kebatinan dalam pembuatannya. 

Adanya jaminan hak asasi manusia tidak terlepas dari adanya hukum yang mengatur sebagaimana adagium “Ubi societas ibi justicia” dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum dan hak asasi manusia seperti dua variabel yang tidak dapat dipisahkan, ketika ada hak asasi manusia yang harus di lindungi maka peran hukum ikut serta di dalamnya. Oleh karena itu kebebasan untuk dipilih dan memilih harus pula di barengi dengan adanya pembatasan kekuasaan hal tersebut sebagai ikhtiar terwujudnya demokrasi yang bersih, serta menjamin kepentingan rakyat yang harus di junjung tinggi.

Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya dinasti politik di alam demokrasi perlu adanya pembatasan kekuasaan, hal tersebut dapat diupayakan dengan menghidupkan kembali pasal yang mengakomodir mengenai pembatasan kekuasaanUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana sebagai upaya tercapainya demokrasi yang selaras dengan negara hukum Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasa 1 ayat (3) UUD NRI 1945.

Editor : Suha Qoriroh

Tulisan di atas adalah rangkuman hasil diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Hukum Tata Negara (Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII) pada tanggal 10 Januari 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun