Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berhentilah Jadi Pengecut!  

1 September 2015   16:23 Diperbarui: 1 September 2015   16:23 4121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sudah berapa kali kita bersikap sebagai seorang pengecut? Sekali? Dua kali? Atau acapkali? Waspadalah, bila kita sering terjebak dalam sikap ini. Itu bisa berarti ketidaksiapan dalam memikul tanggung jawab sebagai bentuk konsekuensi dalam bersikap atau berpendapat.

Mungkin sepintas hal ini terlihat sepele. Tapi, pernahkah kita menyadari, bahwa dampaknya bisa meluas dan melukai banyak orang di sekitar kita? Sebagai contoh, bila kita merasa tidak puas terhadap suatu keadaan atau kecewa terhadap seseorang, bukankah lebih baik jika diungkapkan secara langsung untuk dicarikan jalan keluarnya bersama-sama?

Baru-baru ini, seseorang pernah mengeluh kepada saya. Sebuah  status di media sosial sangat menyudutkannya. Meski itu tidak ditujukan langsung, namun dia bersikeras, bahwa status itu memang ditujukan kepadanya (mengingat dia baru saja bersitegang karena beda pendapat dengan orang tersebut). Sebagai sahabat, saya hanya bisa menyarankan agar dia menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Tentu saja agar dia tidak ikut-ikutan bersikap pengecut, jika dugaan tersebut benar adanya.

Semasa teknologi informasi belum secanggih sekarang, untuk menjatuhkan orang lain, orang cukup menguar-nguarkan keburukan seseorang. Secepat kilat, informasi akan menyebar dari mulut ke mulut. Tanpa perlu diperiksa kembali kebenarannya, seseorang kerap menjadi “tertuduh” seperti yang disangkakan. Saya jadi teringat pengalaman seorang teman di sekolah dasar dulu. Ia dituduh mencuri hanya karena seorang anak yang  tidak menyukainya menyebarkan hal tersebut. Padahal, ia bersumpah tidak melakukannya. Tapi percuma saja. Hanya karena keterangan tanpa dasar, julukan “pencuri” melekat padanya. Sungguh tragis.

Lalu bagaimana di era sekarang? Saat semua orang terkoneksi dengan mudahnya di dunia maya tentu bermunculan kisah-kisah lainnya. Sebuah akun dengan identitas palsu cukup untuk mendiskreditkan seseorang, sekelompok orang, bahkan sebuah komunitas tanpa perlu mempertanggungjawabkan apapun. Fakta bisa diputarbalikkan sesuai keinginan demi memuaskan kebencian, kemarahan, bahkan dendam. Pengecut? Ya, rasanya istilah itu lebih dari tepat untuk hal-hal semacam ini.

Bagaimanapun, sikap pengecut sebaiknya kita hindari dalam keseharian. Lebih baik sampaikan secara langsung, agar bisa dibicarakan lalu diselesaikan secara jernih dan bertanggung jawab. Semua masalah bisa dicarikan jalan keluarnya. Salam persahabatan.

***

Samosir, 1 September 2015 (Tepian DanauMu)

 

Sumber Ilustrasi di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun