Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Caddy, Ratunya Lapangan Golf

15 April 2011   11:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:46 10059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik matahari di hari Jum’at siang itu tak membuat gadis-gadis belia ini kepanasan. Mereka kompak memakai seragam ketat berwarna kuninglengkap dengan topi sebagai atribut pelindung. Rata-rata mereka berparas cantik serta menarik. Apalagi ditunjang dengan bentuk tubuh proporsional, mereka lebih mirip artis ibukota ketimbang profesi yang kini mereka geluti.

Sebelum bertugas, ada beragam aktivitas yang mereka lakukan. Ada yang merapikan pakaiannya, ada yang memakai sepatunya, ada yang sibuk dengan dandanannya, ada juga yang tinggal mengecek peralatan tugasnya. Setelah semua beres, kegiatan selanjutnya adalah siap sedia menunggu tamu dan memandunya bermain golf. Ya, begitulah keseharian mereka sebagai seorang caddy, pekerjaan yang kelihatannya ringan tapi cukup menantang serta menjanjikan dari segi penghasilan.

Alasan terakhir itulah yang membuat para gadis ayu ini tertarik bekerja sebagai caddy. Bagaimana tidak, sekalinya memandu pemain yang rata-rata pejabat berkantong tebal, mereka bisa mendapatkan uang tip minimal Rp. 100.000. Itu baru satu orang, jika dalam sehari mereka memandu lebih dari satu orang, tinggal hitung saja berapa rupiah yang mereka hasilkan dalam sebulan. Belum lagi ditambah Rp.50.000/tamu sebagai biaya jasa caddy yang diberikan pengelola. Sekali lagi, jumlah itu baru pendapatan minimal. Nilainya bisa melebihi pekerja kantoran biasa, kan?.

Dari penghasilan sebesar itu, konon kebanyakan dari mereka mengaku dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri, terlebih juga bisa meringankan beban orangtua. Seperti Tia, 22, yang sudah dua tahun menikmati pekerjaannya sebagai caddy di Palm Hill Country Club, Bukit Sentul. “ Jadi caddy itu enak, bisa dapat uang banyak, bisa bantu keluarga, kerjanya juga tidak begitu sulit, hanya perlu ketahanan fisik saja karena harus mau kena panas dan bolak-balik ambil bola, ya hitung-hitung olahraga “ katanya.Bahkan, saking nyamannya, ia tidak berniat untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin lebih baik dan menjanjikan jenjang karir bagus. “ Nggaklah, saya sudah nyaman jadi caddy, ditawari kerja dikantoran pun, saya belum tentu mau “ ujarnya polos.

Cukup beralasan jika Tia memilih berkarir di lapangan golf karena sebagian besar caddy umumnya direkrut dengan persyaratan mudah dan kompensasi menarik yang nilainya bisa anda tebak sendiri . Tak perlu mengantongi ijasah sarjana pun asal berpenampilan menarik, tidak berkacamata, dan ramah, mereka bisa lolos kualifikasi.

“ Kalau ada yang lulusan sarjana tentu itu lebih bagus, tapi persyaratan minimalnya adalah lulusan SMA, berpenampilan menarik, berat badan proporsional, bebas kacamata, dan yang paling penting sehat jasmani dan rohani “ tutur Rokib, Supervisor Golf Operational Palm Hill Country Club.

Caddy di sejumlah lapangan golf, termasuk Palm Hill Country Club, umumnya freelancer yang tidak dibayar dengan sistem gaji melainkan insentif berupa caddy fee dan uang tip dari tamu. Meski begitu, toh mereka justru mendapatkan penghasilan fantastis hingga tidak mau berpindah ke lain hati, setia sampai mati sebagai caddy. Tingkat pendidikan yang minim ditambah karakteristik golf yang jadi mainannya kaum borjuis mungkin jadi faktor pendukung larisnya profesi ini diminati para wanita.

Namun, ada satu pertanyaan menggelitik, kenapa ya caddy itu harus seorang wanita? Padahal, kalau dilihat dari tugasnya, justru pria yang lebih cocok menjadi caddy. Ditanya hal ini, PR & Marketing Communication Manager PT. Intra Golflink Resorts yang menaungi Palm Hill Country Club, Agus Hermawan punya jawabannya. Menurutnya, diluar negeri malah tidak mengenal adanya caddy di lapangan golf karena olahraga itu sudah lebih ‘merakyat’ disana. Sementara di Indonesia, golf tampaknya masih perlu mendapat panduan dari seorang petugas di lapangan. Di Palm Hill sendiri, semua caddy yang dipekerjakan dulunya bukan wanita melainkan pria.

“ Caddy laki-laki biasanya punya ego yang lebih tinggi di lapangan, merasa expert dan cenderung ‘menggurui’, inilah yang membuat tamu merasa terganggu dan komplain, makanya kemudian kami ganti dengan wanita yang pembawaannya lebih halus dan sabar “ jelas Agus.

Disamping pembawaannya yang lebih halus, caddy wanita juga lebih telaten dalam memandu dan memberi pengarahan kepada pemain. Tak jarang, karena sifat inilah banyak pemain golf menawari sejumlah pekerjaan menarik bagi mereka, biasanya sebagai sekretaris di perusahaannya. “ Tawaran kerja suka ada, paling banyak sekretaris sama staf administrasi “ kata Tia.

Tawaran pekerjaan semacam itu kebanyakan ditolak lantaran gaji dan jam kerjanya tidak senyaman sebagai caddy yang memiliki waktu kerja maksimal 8 jam per hari. Itu pun dibagi dalam sistem shift berkala setiap hari. “ Kerja kalau lagi ramai, bisa sampai 8 jam, minimalnya 4 jam, tapi tetap standby disini “ lanjut wanita yang tinggal di daerah Cileungsi ini. Dalam seminggu, mereka hanya 5 hari bekerja, 2 hari libur kecuali jika ada panggilan mendadak dari manajemen.

Semua kenyamanan sebagai caddy kadang harus terusik dengan sikap tidak bersahabat dari pemain. Entah memarahi, judes, atau bahkan memaki. “ Nggak enaknya kadang kalau dapat tamu yang galak suka marah-marah nggak jelas, itu paling nggak enak “ curhat Tia. Kalau sudah begitu, Tia hanya bisa sabar dan menerima umpatan dari pemain. Itu ia anggap sebagai bumbu dalam pekerjaannya dan tidak pernah dimasukkan dalam hati. “ Namanya juga kerja pasti ada dukanya tapi dinikmati saja daripada dibawa pusing “ lanjutnya.

Lain halnya dengan cerita Nona (nama samaran), caddy senior di Palm Hill Country Club. Selama terjun di profesi caddy selama 9 tahun, ia mengaku banyak mendapat pengalaman berharga terutama soal ulah nakal pemain di lapangan. “ Banyak yang suka iseng godain juga “ katanya. Bahkan, yang lebih parahnya, menjadikan caddy sebagai ajang taruhan di lapangan golf. Siapa menang, dia berhak bawa pulang caddy tersebut. “ Kalau yang kayak begitu sih sudah biasa terjadi, yang penting pintar-pintar kita-nya saja menyikapinya “ terang wanita cantik ini. Diakuinya, ia memiliki sejumlah cara untuk mengahadapi pemain iseng tersebut, mulai dari yang lembut sampai sikap yang kasar. “ Tegur saja dulu baik-baik, kalau nggak mempan, tinggalkan saja di lapangan “ tukasnya.

Dari berbagai suka duka menjadi caddy hingga citra-nya yang negatif di mata masyarakat, baik Tia maupun Nona tak berniat meninggalkan profesi ini. Bagi mereka, buat apa pedulikan kata orang selama pekerjaan itu halal dan mendatangkan penghasilan berlimpah. Bukankah lapangan golf yang panas menyengat itu butuh sesuatu yang menyejukkan? Ya, tentu saja, mereka hadir untuk memberikan itu. Cantik, seksi, dan selalu tersenyum ramah. Berada disamping mereka, siapa tahu pukulan anda, para golfer langsung tepat sasaran alias hole in one. (firda puri agustine)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun