Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sarung (an)

8 September 2017   23:17 Diperbarui: 8 September 2017   23:27 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

SARUNG

Ini bukan ceritra penting atau genting, segenting kriminalisasi tulisan Dandhy Dwi Laksono dilaman FBnya berjudul Suu Kyi dan Megawati. Atau tidak sepenting ceritera KPK yang secara konspiratif diserang dari berbagai arah untuk dilemahkan bahkan dibubarkan. Kepentingan sebuah "sarung" hanyalah bersifat individual, tapi dua peristiwa terakhir sarat dengan kepentingan banyak orang alias kepentingan umum. Ya soal kebebasan mengeluarkan pikiran dan berpendapat yang akhir-akhir ini terasa diletakan di pinggir jurang dan pemberantasan korupsi.

Sarung, di masa silam sesuatu yang sangat penting bagi seseorang terutama saya yang anak kampong, karna hampir seluruh kegiatan hidup tak lepas dari padanya. Sarung menjadi perangkat ibadah, menjadi selimut waktu tidur dan jika malam minggu tiba ia menjadi teman setia pengusir rasa dingin tengah malam ketika nonton wayang golek, wayang kulit atau layar tancap sampai pagi hari. Sarung baru berhenti menemani ketika mulai memasuki dunia formal dan public, sehingga celana panjang menggantikan fungsinya waktu solat.

Namun begitu, karena sudah menjadi "habit" lama suatu ketika tetap muncul kebutuhan bersarung. Sampai pada suatu masa ketika anak-anak masih kecil, secara tak sadar mengantar istri ke pasar dengan bersarung meskipun tidak ikut turun dari Jeef yang dikendarai. Tapi tetap saja sang mertua memarahi, sebagai pensiunan tentara "zadoel" (pernah menjadi pengusung tandu jendral Soedirman) sang Mer ini punya standar disiplin yang tinggi, sehingga menurutnya busana yang saya kenakan sekalipun hanya kepasar dianggapnya kurang pas. He..he...he... entah timbul karena rasa hormat atau rasa lainnya, sejak itu pula sarung hanya menemani saya waktu sholat saja.

Perjalanan waktu terus bergulir, hingga suatu saat kuliah di salemba, ketika magriban di Masjid Arif Rahman Hakim, saya menyaksikan Prof. Zen Umar Purba, dosen favorit yang mengasuh mata kuliah Transaksi Bisnis Internasional selalu mengganti celananya dengan sarung. Meski saya mahfum alasannya (menjaga kebersihan pakaian -kebersihan adalah sebagian dari iman-, begitu bunyi hadist) tapi tetap saya menganggap repot dan kurang praktis, sehingga tidak menimbulkan keinginan untuk kembali bersarung.

Masa berganti dengan segala perubahannya, perubahan mengikuti perkembangan masyarakat yang tak pernah berhenti, perubahan situasi melahirkan perubahan kebijakan, perubahan juga bisa melahirkan disorganisasi sebagai  bagian proses penyesuaian, dan perubahan juga menyangkut phisik dan spiritual manusia yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat. Tujuh belas tahun kemudian sampailah saya pada satu moment tertentu dengan habit yang baru, kebiasaan membuang air kecil pasca setiap kali melakukan satu kegiatan atau pasca berpindah dari satu tempat aktivitas ke tempat lainnya. Tidak menjadi problem ketika toilet ada pada jarak yang terjangkau, tapi akan menjadi masalah besar jika yang terjadi sebaliknya. Begitulah kemudian benar-benar terjadi "peristiwa" itu, celana dalam basah, jadi berabe deh langsung ingat Prof. Zein, akhirnya aku kembali kepada mu sarung, yang memang teman setia sejk dulu. Dasar...sarung,  eh salah....dasar.... kaum sarungan (Tebet07092017)  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun