Pendahuluan
Saat ini Indonesia menjadi salah satu negara importir minyak bumi karena pertumbuhan penduduk yang signifikan sehingga memicu meningkatnya sarana transportasi dan aktivitas industri. Di sisi lain, cadangan minyak bumi di Indonesia semakin menipis dan juga dampak lingkungan yang dihasilkan berbahaya. Minyak diesel (solar) adalah salah satu BBM yang mempunyai peran penting di sarana transportasi dan industri. Pada tahun 2006, Indonesia mengimpor solar sebanyak 5-6 miliyar liter dan jumlah ini akan terus bertambah karena kemampuan kilang minyak nasional untuk memproduksi solar tidak bertambah (Muhammad, 2010). Minyak nabati merupakan salah satu alternatif untuk menggantikan minyak bumi dan ketersediannya di Indonesia sangat besar. Ide penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif ditunjukkan pertama kali oleh Rudolph Diesel ( tahun 1900) dan penelitian ini terus berkembang dengan memanfaatkan lemak nabati dan hewani (Bode, 2013).
Minyak nabati memiliki nilai kalor yang hampir sama dengan bahan bakar konvensional. Namun karena viskositasnya yang jauh lebih besar daripada minyak diesel maka penggunaannya secara langsung sebagai bahan bakar masih mengalami kendala. Hal ini mengakibatkan proses pembakaran menjadi tidak sempurna dan juga meninggalkan residu karbon di injektor. Untuk menurunkan nilai viskositas minyak nabati dapat dilakukan beberapa cara seperti emulsifikasi, pirolisis, pengenceran dengan pelarut dan transesterifikasi. Transesterifikasi merupakan metode yang paling banyak digunakan karena tidak membutuhkan temperatur yang tinggi. Dalam transesterifikasi ditambahkan alkohol sehingga menghasilkan metil atau etil ester (tergantung jenis alkohol yang digunakan) yang biasa disebut biodiesel dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Biodiesel dikenal sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan, bilangan asap (smoke number) yang rendah, memiliki octane numberyang lebih tinggi, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin, dan dapat terurai (biodegradable) sehingga tidak menghasilkan racun (Vicky, 2015). Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia telah disahkan dan diterbitkan oleh Bandan Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22 Februari 2006 yang tertuang dalam SNI-04-7182-2006. Adapun persayaratan mutu biodiesel disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Persyaratan mutu biodiesel menurut SNI-04-7182-2006
                                     Sumber : Soerawidjadja, 2006 dalam Vicky, 2015
Bahan Baku dan Katalis
- Sumber Bahan Baku
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena didukung oleh kondisi lahan yang relatif subur sehingga proses budidaya tumbuhan yang dijadikan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dapat tumbuh dengan baik. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dapat dilihat di Tabel 2.
Sumber : Nugraha, 2007 dalam Muhammad, 2010
Keterangan :       -   Bkr  = Basis kering
                 -   P    = Pangan
                 -   NP   = Non Pangan
          Permasalahan utama dalam produksi biodiesel adalah bahan baku utama yang masih banyak mengunakan minyak pangan. Pada kenyataannya minyak pangan memiliki kandungan minyak yang tinggi dan asam lemak bebas yang sangat rendah sehingga yield biodiesel akan lebih banyak. Dalam beberapa tahun terakhir, minyak non-pangan mulai banyak dikembangkan sebagai bentuk pencegahan datangnya ketidakstabilan pangan dan energy karena banyaknya yang memproduksi biodiesel dari minyak pangan. Pada tabel 2, minyak non pangan yang berpotensi menghasilkan biodiesel adalah karet dan kemiri.
- Katalis