Jakarta - Kemunculan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permindikbud) Nomor 14 Tahun 2018 (selanjutnya direvisi menjadi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018) yang secara khusus mengatur mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) rupanya menimbulkan polemik di berbagai kalangan.Â
Bagaimana tidak, peraturan tersebut menjadi dasar diberlakukannya sistem zonasi untuk para peserta didik yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Jika sebelumnya penerimaan calon peserta didik didasarkan pada nilai dan prestasi, kini melalui sistem zonasi, faktor utama penerimaan calon peserta didik di suatu sekolah adalah zona atau domisili calon peserta didik tersebut.
Adanya sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik mendaftar di sekolah yang radiusnya dekat dengan tempat tinggal mereka. Sistem zonasi ini juga mewajibkan sekolah untuk memprioritaskan penerimaan calon peserta didik yang domisilinya dekat dengan wilayah sekolah tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 a ayat (1) Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018, daya tampung penerimaan peserta didik melalui jalur zonasi ini adalah 90%, sedangkan sisa kuota 10% dari daya tampung tersebut diperuntukan untuk jalur prestasi dan jalur perpindahan tugas orang tua, yang masing-masing kuotanya berjumlah 5%.Â
Adapun pembuktian bahwa calon peserta didik memang berada di zona yang sama dengan sekolah tersebut dilakukan dengan menunjukan Kartu Keluarga atau surat keterangan domisili yang menerangkan bahwa calon peserta didik yang bersangkutan memang sudah berdomisili paling tidak setahun di wilayah tersebut.
Kelahiran sistem zonasi ini diklaim oleh Mendikbud sebagai upaya penghapusan kastanisasi sekolah. Adanya sistem zonasi ini dinilai akan meratakan status dan kualitas sekolah di Indonesia dikarenakan setiap sekolah akan memiliki standar minimum yang sama, sehingga kedepannya tidak akan ada lagi sekolah favorit yang hanya dapat menampung siswa-siswi berprestasi.
Untung-Rugi Sistem Zonasi
Jika kita sadari, upaya penghapusan kastanisasi sekolah sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu dalam format yang berbeda. Pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang menghapuskan status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) pada sekolah negeri karena status RSBI ini dianggap melahirkan diskirminasi dan kastanisasi pendidikan.
Adanya status RSBI pada sekolah negeri ini juga dianggap sebagai bentuk pengkotak-kotakan para peserta didik yang ada. Adapun penghapusan status RSBI sebagai bentuk upaya penghapusan kastanisasi sekolah ini tidak menimbulkan pro kontra yang begitu besar di kalangan masyarakat. Penghapusan status RSBI pada akhirnya dianggap sebagai bentuk solusi yang paling ideal dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan.