Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tragedi Lapas Sleman, Pesan untuk Para Pendukung Hukum Rimba

26 Maret 2013   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:11 2609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13642815151624399447

"....Mereka yang mendukung penyerangan lapas ibarat KANCIL yang bersorak ketika SINGA menerkam SERIGALA. Tinggal menunggu waktu saja sampai mereka akan jadi santapan berikutnya...."

Untaian kata-kata di atas merupakan sebuah komentar yang saya copas dari kolom komentar sebuah artikel berita di Kompas.Com. Komentar ini merupakan salah satu dari komentar sanggahan dari ratusan komentar yang mendukung penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman yang seolah-olah pantas dibenarkan.

Komentar-komentar pembaca yang sepakat dengan tindakan inkonstitusional ini tampak terlihat emosional dan irasional. Hal ini mungkin saja disebabkan akumulasi kekecewaan akut akan fenomena kekerasan yang dilakukan mereka yang dijuluki preman selama ini. Irasionalitasnya  terletak di sini: mengutuk tindakan premanisme serentak mendukung tindakan premanisme lainnya! Mengutuk para preman, tetapi mendukung para preman bersenjata yang menyerang Lapas yang merupakan salah satu simbol penegakan hukum di negeri ini. Entah apa yang ada di hati para komentator sehingga begitu mudahnya mengumbar kata-kata yang sangat tidak simpatik melalui komentar-komentar yang sama sadisnya dengan tindakan para preman bersenjata itu.

Selain itu, komentar-komentar "bernada puas" tersebut bisa saja mengekspresikan akumulasi kekecewan akut akan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Vonis-vonis hukuman yang terkadang tidak sesuai dengan berat-ringannya kasus oleh karena berbagai kepentingan para penegak hukum yang bermain di dalamnya membuat mereka menjadi gemas sekaligus geram. Dan ketika empat tahanan kemudian dieksekusi dengan hukum rimba, kegemasan dan kegeraman mereka seolah-olah mendapatkan kanalisasinya.

Hal ini menjadi jelas ketika muncul komentar-komentar yang merindukan dihidupkannya kembali PETRUS pada zaman Orde Baru yang jelas-jelas kontroversial dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan azas apapun. Seolah-olah bahwa dengan dihidupkannya kembali PETRUS seperti yang diperankan oleh ke-17 eksekutor gelap tersebut dapat memutuskan mata rantai kejahatan.

Padahal semakin direpresi melalui tindakan kekerasan/premanisme ala PETRUS semakin menimbulkan teror dan horor bukan hanya bagi para pelaku kejahatan tetapi juga bagi seluruh rakyat. Efek teror dan horor ini kemudian dianggap sebagai "syok terapi" bagi rakyat agar tidak macam-macam termasuk tidak boleh macam-macam dengan mereka yang mempunyai kuasa dan senjata! Bagaimana rasanya hidup di bawah bayang-bayang ketakutan diberondong senjata tidak dipikirkan. Yang terpenting buat salah, door dan habislah perkara. Euforia akan PETRUS ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa bangsa ini sedang sakit jiwa akut karena nurani dan nalar tidak lagi dikedepankan. Semua yang mendukung euforia ini di bawah sadarnya ingin menjadi psikopat karena semuanya tidak akan mempercai hukum lagi tetapi main hakim sendiri.

Bagi yang senang dan mendukung tindakan keji eksekutor gelap yang sampai detik ini belum diungkap identitasnya ini penting untuk mengingat kata-kata Sang Komentar ini:

"....Mereka yang mendukung penyerangan lapas ibarat KANCIL yang bersorak ketika SINGA menerkam SERIGALA. Tinggal menunggu waktu saja sampai mereka akan jadi santapan berikutnya...."

Terkait:

Tragedi Hukum Paling Memalukan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun