Ilustrasi - panen jagung (Kompas)
Banyak kalangan berulang kali mengingatkan tentang karut marut pengelolaan pangan. Pemerintah, terutama Menteri Pertanian, cenderung hanya mengutik-utik persoalan di hilir. Padahal persoalan pangan di Indonesia sudah sedemikian sangat akut. Lihat Menohok ke Akar Masalah.
Kisruh soal jagung kian membuktikan konstatasi di atas.
Harga rerata jagung di pasar internasional pada Desember 2015 adalah 163,35 dollar AS per ton. Dengan kurs Rp 13.900 per dollar AS, maka harga jagung di pasar internasional adalah Rp 2.279 per kg.
Harga jagung di pasar internasional terus mengalami penurunan sejak titik tertingginya 333,05 dollar AS per ton pada Juli 2012. Dalam 3,5 tahun terakhir harga anjlok sebesar 51 persen.
Kementerian Pertanian mengklaim produksi jagung naik dan cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kenyataannya jagung langka di pasar sehingga harga melonjak. Kalau benar-benar stok jagung cukup, tunjukkan saja di gudang mana.
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Jagung Nasional, masalah muncul karena panen tidak merata dan penanganan pasca panen yang buruk (Produksi Jagung Melebihi Kebutuhan). Bukankah hampir semua jenis pangan mengalami masalah yang sama? Sungguh alasan yang mengada-ada. Kelebihan produksi pada masa panen tentu disimpan, bukan dibuang ke laut.
Mari kita urai masalahnya dengan menggunakan pendekatan sederhana. Harga meurpakan interaksi antara penawaran dan permintaan.
Harga jagung di pasar internasional, Pi, lebih rendah dari harga jagung di dalam negeri. Tanpa pembatasan impor, harga jagung di dalam negeri sama dengan harga jagung di pasar internasional, dengan asumsi tidak ada ongkos angkut dan ongkos lainnya. Kuantitas yang ditawarkan sebesar Q1, sedangkan kuantitas yang diminta sebesar Q2. Kekurangan pasokan di dalam negeri ditutupi oleh jagung impor.