Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kunjungan Lapangan

19 Januari 2017   03:38 Diperbarui: 19 Januari 2017   04:27 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para siswa antusias mengikuti 'Kunjungan Lapangan (Dokumentasi Pribadi)

Tulisan ini disemangati dari curhatan teman-teman  guru yang kurang semangat mengajar karena tidak memiliki fasilitas kelas yang lengkap. Entah keyakinan apa yang telah menghantui mereka, karena mereka meyakini, fasilitas ruang kelas yang tidak lengkap dengan perabot elektronik, tidak bakalan mencetak siswa yang berprestasi. Bagi Penulis, keyakinan tersebut adalah preseden buruk yang menghantui lompatan hasil belajar sekolah yang minim fasilitas. Berangkat dari hal di atas, tulisan ini muncul.

Ada dua hal yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Pertama, hal-hal yang mendorong terbentuknya konstruksi sosial bahwa sekolah yang berkualitas adalah sekolah yang berlimpah bergedung dan fasiltias kelas serta laboratorium yang mewah. Kedua, alternatif model pembelajaran bagi sekolah yang terbatas akan sarana dan prasarana.  Bagian pertama, mengulas tentang politik akreditasi dan guru yang malas. Bagian kedua, mengulas tentang model kunjungan lapangan sebagai alternatif untuk mendorong sekolah-sekolah yang terbatas fasilitas ruang kelas dan media pembelajarannya, dapat memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi masyarakat nantinya.

Politik Akreditasi

Adanya kecenderungan, komponen standar yang difokuskan untuk mendongkrak akreditasi sekolah adalah komponen yang bermuara pada standar sarana dan prasarana. Komponen standar ini biasanya didukung oleh komponen standar pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Adapun standar yang lain cenderung dinomor duakan. Hal inilah yang menjadi trending, mungkin saja terdapat relasi antara pihak sekolah dengan lembaga yang lain, yang cenderung mengutamakan proyek-proyek hibah berbasis pengadaan gedung dan alat. Dari sinilah, perlombaan membangun gedung dan pengadaan alat yang tidak setara menjadi tren kebijakan sekolah untuk meraih angka akreditasi sempurna.

Pola hubungan antara politik akreditasi dengan sekolah saat ini, cenderung tidak mendukung sekolah yang mash bersahaja, tidak akan maju dalam layanan pendidikan untuk masyarakat. Lebih tragis lagi ketika pemerintah lebih memihak kepada sekolah-sekolah yang dipandang lebih maju, lebih banyak diberikan dana hibah dengan banyak menggelontorkan dana untuk pembangunan sekolah. Jika demikian, maka jelas terjadi ketidakadilan sosial dalam mendapatkan layanan pendidikan. Politik akreditasi harus segera di ubah.

Guru yang malas

Walalupun demikian rendahnya layanan pendidikan tidak semata-mata karena politik akreditasi saja. Hal yang perlu diperhatikan adalah keberadaan guru yang malas. Guru malas yang dimaksud adalah guru yang hanya bergantung pada kehadiran fasilitas sekolah mewah. Jika sebuah sekolah yang terbatas dengan buku belajar, laboratorium sekolah, dan kelangkaan alat-alat media pembelajaran, maka ketika sekolah memiliki guru malas, jelas layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa sangatlah menghawatirkan. Guru malas acapkali beralasan, rendahnya lompatan prestasi belajar siswa, karena sekolah yang bersangkutan minim fasilitas. Jika demikian, lagi-lagi sekolah minim fasilitas, tidak lebih maju dalam layanan pendidikan untuk masyarakat.

Kunjungan Lapangan

Lantas bagaimana strategi sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas pembelajaran? Menurut Penulis ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, jangan prioritaskan sumber dana sekolah untuk membangun gedung dan perabot pembelajaran sekolah. Sekolah janganlah mengikuti permaian sekolah mewah. Jangan bangun gedung, jangan belanja ac, jangan adakan gebyar kegiatan yang mewah. Fokuskan dana yang ada untuk kegiatan belajar yang berkualitas dengan mendatangkan guru tamu dan mengunjungi sumber belajar di luar ruang kelas.

Ingat, sekolah yang mewah jelas berkonsekwensi terhadap tingginya tagihan beban perawatan gedung dan perlengkapannya. Jika tagihan beban semakin tinggi, maka negara harus mensubsidi tinggi. Dan lagi-lagi, orang tua harus membayar sumbangan tinggi. Jika demikian maka sekolah mewah sebenarnya adalah sekolah yang kritis karena harus memikul beban yang tinggi diluar beban proses pembelajaran inti. Dimasa yang akan datang, sekolah mewah akan segera tutup sebelum gurunya pensiun mengajar.

Sekolah yang sederhana sudah saatnya mengembangkan formula tentang bagaimana menggunakan anggaran sekolah yang terbatas, namun memberi layanan pendidikan di atas ambang batas. Mendatangkan guru tamu yang ahli di bidangnya, dan mengunjungi sumber belajar di luar ruang kelas yang ada, adalah tantangan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun