Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Yang Membebaskan

4 Desember 2013   09:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:20 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada dasarnya tujuan pendidikan secara umum selain menciptakan manusia yang berkualitas juga berfungsi untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan. Dapat dimaklumi. Sebab, dengan rendahnya kualitas suatu bangsa identik dengan menyebarnya kebodohan yang akan melahirkan kemiskinan dari berbagai dimensi, baik kemiskinan secara moral maupun spiritual.

Tujuan pendidikan di atas akan tercapai dengan sendirinya apabila pola pendidikan kita bersifat “membebaskan”. Dalam pandangan penulis sudah cukup lama pendidikan kita terkungkung dengan berbagai pemaksaan yang ‘menciderai’ tujuan dan fungsi pendidikan itu sendiri. Memaksakan sebuah kurikulum secara nasioanal dengan mengabaikan kemampuan dan karakteristik yang berbeda di setiap daerah merupakan contoh lain dampak buruk kebijakan pendidikan nasional yang sifatnya membelenggu kebebasan.

Selain terpasung dengan kebijakan tadi, dalam dunia pendidikan sendiri kenyatannya kita belum mampu melepaskan 5 (lima) rantai yang memasung kebebasan kita, baik secara kelembagaan maupun secara personal.

Pertama, Bebas dari diskriminasi

Sudah menjadi rahasia umum diskriminasi masih ada dalam dunia pendidikan kita. Contohnya perlakuan yang beda dari pemerintah terhadap sekolah negeri dan swasta. Terutama dalam hal kesejahteraan guru dan alokasi bantuan atau penghargaan lainnya. Walau fungsi dan tanggungjawab mereka sama, nyatanya dari tiga komponen tadi pemerintah lebih memprioritaskan sekolah negeri atau mereka yang berstatus PNS.

Diskriminasi juga terjadi pada anak didik yang kesulitan masuk sekolah berstatus eks RSBI karena minimnya biaya. Pola penyekatan berbau status sosial seperti ini masih dilestarikan sampai sekarang.

Kedua, Bebas dari rasa takut

Adakah bawahan yang punya keberanian menggugat atasannya? Guru menggugat kepala sekolah yang sering menyelewengkan misalnya dana BOS atau komite? Kepala sekolah melaporkan oknum dinas pendidikan yang menggerogoti dana DAK, blockgrand atau hibah? Mustahil, rasa takutdipecat mengalahkan rasa takut hilangnya martabat selaku pendidik.

Ketiga, Bebas dari kekerasan verbal

Seberapa sering kita selaku pendidik menyebut anak didik kita “Bodoh, IQ Jongkok, Pembohong, Pencuri”, dan ucapan menghakimi lainnya? Sadarkah kita bahwa ucapan-ucapan tersebut telah melukai perasaan mereka dan selalu diingat menjelang tidur? Tanpa kita sadari, mereka akan mengingat semua itu sehingga menghasilkan mimpi-mimpi burukbagi masa depannya. Bila kita belum membebaskan kelakuan seperti itu jangan harap kita menciptakan insan-insan yang berkarakter mulia di kemudian hari.

Keempat, Bebas dari politisasi

Dalam momen tertentu, dunia pendidikan juga dipasung oleh perang kepentingan bagi mereka yang haus kekuasaan. Tak heran bila mereka sering menyambangi institusi pendidikan untuk meraih dukungan, lengkap dengan berbagai bantuan. Disini saja dunia pendidikan terpasung oleh kepentingan praktis.

Contoh paling banyak terjadi dalam pengelolaan pesantren yang banyak mengandalkan bantuan dari donatur selain membiayai sendiri dengan berbagai amal usaha mereka. Terutama dari donatur yang terlibat politik secara praktis.Dalam berbagai kasus, kalangan pesantren seringkali mengundang calon-calon tertentu demi mengembangkan pesantren mereka. Padahal kalau dipikir, yang terpilih nantinya paling lama dua periode. Sedangkan usia pesantren sendiri mungkin puluhan kali lipat dari masa jabatan mereka.

Tetapi menggadaikan nama baik pendidikan tetap dilakukan dengan dalih, siapa saja yang datang kita terima, soal milih urusan nurani. Di sini dunia pesantren seperti menjadi ajang bagi pembodohan publik dan membelenggu semua penghuninya untuk bebas merefleksikan diri.

Kelima, Bebas dari pungli

Yang kelima ini adalah rantai yang paling susah diputuskan. Sekencang apapun kita teriak, mustahil didengar oleh pemangku kebijakan. Tinggal kesadaran kita masing-masing untuk tidak terbiasa memberikan sesuatu yang membuat kita dapat membebaskan diri, terutama membebaskan diri dari sanksi hukum baik secara moral maupun agama.

(Tulisan ini dibuat secara sederhana, tidak terlalu ilmiah. Semoga bermanfaat bagi kita semua)

img : Youtube.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun