Mohon tunggu...
Erwin Suryadi
Erwin Suryadi Mohon Tunggu... profesional -

Indonesia for better future

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

AFTA 2015, Peluang atau Ancaman Bagi Pelaku Bisnis Indonesia?

22 Maret 2014   10:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Para pelaku bisnis di Indonesia, utamanya yang bergerak di bidang Industri, semakin hari semakin gelisah akan hadirnya AFTA yang akan berlaku di tahun 2015 nanti. Hal itu tersebut disebabkan oleh akan tiba masanya bahwa Pemerintah tidak lagi bisa melindungi industrinya dari serangan-serangan produk utamanya dari China atau yang setelah keluarnya Keppres no 12 tahun 2014 menjadi Tiongkok. Menyimak fenomena tersebut, sebenarnya banyak perspektif yang menarik untuk dapat dibahas dalam mengupas mengenai AFTA 2015 tersebut. Perspektif itu bisa dibagi menjadi perspektif pemilik pabrik, pedangang dan juga dari perspektif konsumen, dimana pada tulisan kali ini hanya akan dibahas dan didalami perspektif dari pemilik pabrik

Pemilik pabrik yang secara teori merupakan pihak yang akan head to head melawan banjirnya produk asing ke Indonesia. Secara kenyataan, hampir tidak ada dari seluruh perusahaan industri kita yang menjalankan usahanya seluruhnya memiliki kandungan lokal 100%. Sebutlah, mesin-mesin, bahan bakunya bahkan kadang-kadang tenaga ahli pun didatangkan dari luar negeri. Tapi apakah ini salah ? Tentunya jawabannya adalah tidak, karena masih harus disadari bahwa Indonesia masih sangat tertinggal dalam pengembangan industri-industri yang memproduksi mesin, bahan baku dan bahan-bahan penunjang industri. Sehingga selama industri tersebut dapat menyerap banyak tenaga kerja, maka tugas pertama industri untuk membantu negara dalam mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia selesailah sudah.

Pemilik pabrik juga, dengan segala pengalaman yang ada selama ini, sudah tertanam selama ini bahwa dengan memiliki pekerja sampai ratusan bahkan ribuan orang, maka pemilik tersebut seolah-olah menjadi raja kecil yang harkat dan martabatnya lebih tinggi dari orang-orang di sekitarnya. Dengan posisi tersebut, maka mulailah pemilik pabrik tersebut menembus dan memasuki sebuah comfort zone yang mana dengan mesin-mesin yang ada mereka dapat mendulang banyak kekayaan.

Sesuai dengan teorinya, sebuah perusahaan akan terus dapat berkembang dan memberikan manfaat dan menciptakan inovasi manakala perusahaan tersebut mau memasukan unsur penelitian dan pengembangan yang berujung pada pembaruan dari peralatan, metode dan bahkan tenaga ahli yang mengoperasikan mesin-mesin tersebut. Akan tetapi,dikarenakan sudah memasuki comfort zone tadi, seolah-olah para pemilik pabrik tersebut enggan untuk melakukan proses penelitian dan pengembangan dengan alasan toh mesin-mesin yang sekarang pun masih cukup baik dan masih memberikan keuntungan bagi perusahaan untuk menghidupi dirinya, keluarganya dan karyawannya serta munculnya isu-isu sulitnya melakukan impor mesin yang bea masuknya sangat mahal dan sebagainya

Keengganan tersebut, mau tidak mau pada akhirnya akan memunculkan inefisiensi dalam sebuah proses produksi yang jelas dampaknya adalah kenaikan biaya produksi. Semakin tua sebuah alat, dipastikan akan mengurangi efisiensi hasil produksi dan meningkatkan biaya pemeliharaan. Pada jaman sebelum AFTA ini diberlakukan, utamanya pada jaman orde baru, hal tersebut bukan menjadi problem utama, dikarenakan semua beban inefisiensi tersebut akan dibebankan kepada konsumen dan konsumen juga tidak bisa mengelak karena minimnya pilihan pada saat itu. Belum lagi pada saat keemasan tersebut, para pemilik pabrik dan bahkan pemerintahnya pada saat itu lebih berfikir untuk mengekspor barang-barang tersebut keluar negeri guna meningkatkan devisa non-migas bagi negara dan juga keuntungan lebih bagi perusahaan dibandingkan dengan melayani pasar dalam negeri yang relatif daya belinya masih rendah pada saat itu.

Pemikiran ekspor itu sesungguhnya tidak salah apabila pasar di dalam negeri tidak dapat menampung hasil produksi dari pabrikan, seperti misalnya negara-negara kecil di Eropa yang jumlah penduduknya masing-masing tidak lebih dari kota Jakarta. Dengan jumlah pasar yang kecil tersebut, maka mau tidak mau ekspor menjadi jawaban dalam penyaluran kelebihan produksi yang sudah dilakukan. Tapi untuk Indonesia sendiri, ternyata berbeda, dimana masyarakat masih banyak yang belum dapat membeli produk hasil pabrikan dan bahkan mereka membeli produk asing yang sejak dulu sudah membanjiri pasar karena menangkap Indonesia sebagai sebuah potensi pasar yang besar dengan jumlah penduduk mencapai ratusan juta jiwa.

Inilah yang menjadi keteledoran pemerintah maupun pemilik pabrik selama belasan sampai puluhan tahun, sehingga momentum masuknya AFTA ini, membuat para pemilik pabrik tersentak karena mereka sebelumnya tidak memiliki persiapan dalam menghadapi banjirnya produk asing di Indonesia yang pelan-pelan menggerus pangsa pasar pabrik lokal dengan menggunakan strategi low cost.

Menghadapi hal tersebut, ada beberapa sikap yang dilakukan pemilik pabrik, dimana ada beberapa perusahaan yang mencoba memperbaiki diri di sisa waktu yang sedikit ini akan tetapi ada juga pabrik yang bersikap menyerah dan pada akhirnya menutup dan memberikan pesangon kepada karyawannya. Bagi perusahaan yang mempunyai niat untuk memperbaiki diri, sebetulnya saat ini merupakan sebuah kesempatan dimana dengan berkurangnya pesaing lokal dan dengan AFTA juga bahwa seharusnya mereka dapat memperoleh bahan baku yang lebih murah. Inilah yang seharusnya menjadi semangat bagi para pemilik pabrik tersebut untuk bekerja keras dan memanfaatkan peluang dari AFTA tersebut.

Belum lagi, apabila pemilik pabrik yang orientasinya memperkuat penelitian dan pengembangan bisa menciptakan berbagai inovasi baru dari bahan baku yang murah tersebut. Pemilik pabrik dapat menciptakan differensiasi produk yang ditawarkan kepada pelanggannya. Sehingga pabrik di Indonesia tidak terjebak dengan persaingan di level barang murah yang selama ini digembor-gemborkan di media. Sebagai contoh, walaupun beredar smartphone dari Tiongkok yang harganya murah, akan tetapi mayoritas masyarakat lebih setia menanti dan membeli smartphone yang sudah terbukti yang dikeluarkan oleh Samsung maupun Sony dan juga Blackberry. Industri lainnya seperti industri sepatu pun juga sama, dimana kebanyakan orang lebih memilih sepatu yang nyaman walaupun agak sedikit mahal dibandingkan dengan sepatu yang murah tapi menyiksa kaki mereka.

Inilah peluang yang seharusnya ditangkap oleh para pengusaha kita, dimana sesungguhnya banyak kesempatan dan hal-hal positif yang bisa diciptakan pada masa AFTA tersebut, manakala pemilik bisnis tidak merasa skeptis dan anti terhadap perubahan yang ada. Disinilah mental para pengusaha kita diuji dalam menghadapi perubahan-perubahan yang ada.

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa AFTA memang dapat menjadi sebuah ancaman bahkan ancaman masif bagi pelaku bisnis di Indonesia manakala pelaku bisnis sudah merasa skeptis dan tidak mau merubah paradigma berfikirnya serta menolak perubahan yang nyata-nyata harus terjadi. Akan tetapi, di lain pihak, apabila pemilik bisnis mau bangkit dan bekerja keras untuk memanfaatkan AFTA ini untuk menemukan hal-hal baru serta merangsang peningkatan efisiensi perusahaannya, maka niscaya AFTA ini merupaka sebuah peluang indah untuk memperluas pangsa pasar yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun