Mohon tunggu...
Erta Priadi
Erta Priadi Mohon Tunggu... -

An MD in love with my wife & daugter, & hunger for adventure in life. I'm a physician in Bandung Indonesia. Currently I'm taking Residentship Program in the Cardiology and Vascular Medicine in Padjajaran Medical School. My wife is also a resident, she's taking Pediatrics. When we have the time we try to spend it with our daughter. Cardiology has always been by passion when I study medicine. It's always amazed me that although the number one killer in the World / Indonesia is cardiovascular disease, as a Nation we never seem to put much effort into preventing or managing this disease. The awareness to treat Hypertension is very low, not only among patient but also among fellow doctors. Smoking is very prevalent here, no wonder I keep on getting younger and younger patient with Heart Attack. Even when they do had heart attack, only few hospital in Indonesia is PCI capable. So there's a lot to do in this field, and this is where I currently study and practice Cardiovascular Medicine, hopefully I can finished it in 2014. As a country Indonesia still has a lot to do in terms of providing better healthcare. Our population is the 4'th largest in the worlds, we have a vast healthcare problem, our public hospital often overcrowded, underfunded and offer poor Healthcare Services. So there's still a great potential to develop Healthcare Services in Indonesia. Professional Interest : Cardiac Intervention, Cardiac Electrophysiology, Preventive & Rehabilitative Cardiology, Electrocardiography, Hospital Management, Electronic Medical Records, Hospital Information System. Personal Interest : Writing, Green Technology, Digital Photography, Gaming, Mobile Technology, Gaming, Traveling (Backpacking).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Potret Buram Pelayanan Kesehatan Indonesia

21 Juni 2013   22:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik World Health Organization (WHO) menyarankan setiap negara mengalokasikan setidaknya 5% dari GDP untuk anggaran kesehatan (rata-rata negara di dunia sudah mengalokasikan 10%). GDP Indonesia saat ini sekitar 7000 Trilyun, seharusnya anggaran kesehatan Indonesia sekitar 350 Trilyun / tahun.

UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 171 menuntut agar anggaran kesehatan Indonesia seharusnya minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD. Berdasarkan hal tersebut jika anggaran belanja 2013 sebesar 1683 Trilyun maka seharusnya pemerintah mengalokasikan 84 Trilyun untuk kesehatan. Tapi kenyataannya pemerintah hanya mengalokasikan 34 Trilyun untuk kesehatan tahun 2013 - hanya 10% dari nilai yang disarankan WHO.

Akibat rendahnya anggaran kesehatan tersebut infrastruktur kesehatan di Indonesia jauh tertinggal dan problem kesehatan berkembang tak terkendali. Tulisan dibawah ini menggambarkan buruknya infrastruktur kesehatan Indonesia sehingga semua pihak dapat mengetahuinya dan turut membantu merealiasikan anggaran kesehatan yang lebih besar.

Saya bertugas di Puskesmas Soliu Kecamatan Anfoang Barat Laut, Kabupaten Kupang tahun 2011. Disini ada kursi gigi, namun tidak ada listrik sehingga kursi gigi sama sekali tidak bisa dipakai. Ada genset tapi tidak dipakai karena tidak ada anggaran untuk BBM. Begitu pula dengan Ambulan, karena tidak ada anggaran BBM, hampir tidak pernah terpakai kecuali untuk kebutuhan pribadi kepala puskesmas. Saya waktu bertugas disana juga hanya bisa melongo saking tidak masuk diakalnya pembangunan kesehatan di negara saya ini. - dr. Laila Aidi

Saya bertugas didaerah Serang, tidak jauh dari Ibukota Negara. Di lingkungan  dinas kesehatan kota Serang terdapat 16 puskesmas terdiri dari 6 puskesmas perawatan (1 puskesmas dengan 3 dokter, 3 puskesmas dengan 2 dokter, 1 puskesmas dengan 1 dokter) sisanya adalah Puskesmas non perawatan, sebanyak 9 Puskesmas diisi 1 Dokter dan 1 puskesmas non perawatan tanpa dokter. Harus diketahui bahwa standar  puskesmas perawatan adalah 4-5 dokter dan non DTP 1-2 dokter. Jadi jelas masih kurang SDM. Alokasi anggaran darimana? Harusnya dari APBN. Tapi yg 5% itu katanya di luar belanja pegawai ya… hmmm… - dr. Yustie Amelia (anggaran kita masih 2%)

Di IGD RS Hasan Sadikin yang merupakan RS Rujukan Pusat di Jawa Barat - alat monitoring tanda vital masih kurang, kalaupun ada umumnya adalah barang lama yang beberapa fungsinya sudah rusak. Jadi seringkali kami harus berebut alat, pasien yang sedang dalam keadaan shock tekanan darahnya harus diperiksa manual karena alatnya seringkali tidak bisa memeriksa tekanan darah dengan tepat. Ventilator yang tersedia di IGD pun hanya ada satu, alatnya pun sudah tua dan sering rusak. Selang dan filternya sudah lama tidak diganti, hanya di resterilisasi berulang sehingga warnanya kusam dimakan usia. Ruang Perawatan, apalagi Ruang Perawatan Intensif hampir selalu penuh, sehingga bila ada pasien gagal nafas yang membutuhkan ruangan intensif dan ventilator kami tidak bisa berbuat banyak. Karena hal tersebut tatalaksana pasien menjadi tidak optimal. - dr. Erta Priadi Wirawijaya

Saya PTT tahun 2006-2008 di Puskesmas Sungai Melayu Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Infrastruktur sangat tidak memadai membuat ambulan baru rusak hanya dalam hitungan bulan. Listrik hanya ada di malam hari dan tidak setiap malam sehingga banyak alat yang tidak bisa digunakan. Dari segala kekurangan yang ada, yang paling kurang adalah SDM, sehingga saat di sana, bisa dibilang kami kerja 24/7 dan harus pergi jauh untuk bisa istirahat. Hanya ada 1 orang dokter umum dan 1 orang dokter gigi untuk populasi 10.007 orang. Tidak ada lab sederhana maupun alat roentgen. Kursi gigi tidak optimal digunakan karena tidak ada listrik yang memadai. Alat nebuliser di gudang digigit tikus kabelnya putus. Untuk mengisi Tabung Oksigen harus ke kota kabupaten yang berjarak 70 km dengan kondisi jalan rusak. Sampai saat ini, kondisinya tidak jauh berbeda dengan dulu. - dr. Raspati Cundrani Koesumadinata

Saya PTT tahun 2007 -2009 di Puskesmas Talunan Solok Selatan, jarak RS  dari puskesmas 3 jam perjalanan dengan mobil yang harus ditempuh melalui jalan tidak beraspal, berbukit, serta curam. Kendala terbesar saat saya bertugas adalah tidak adanya air bersih... hanya tersedia bak penampungan air hujan, yang juga yang bocor. Alhasil semua tindakan pembersihan luka tidak bisa dikerjakan... Akhirnya setelah menunggu 1 tahun tidak mendapat direspon dari dinas, saya terpaksa menggunakan uang pribadi untuk menyediakan sumber air buat Puskesmas. Dari segi fasilitas Puskesmas, Alat laboratorium sederhana yang digunakan untuk pemeriksaan Hb, mikroskop, tabung reaksi untuk pemeriksaan protein urin semua tidak ada, begitu pula dengan tabung Oksigen tidak ada. Sementara itu alat gigi tersedia namun tidak bisa digunakan karena tidak ada air. Mobil ambulan baru ada setelah tahun ke 2 PTT. Sebelumnya hanya ada 1 motor untuk bidan menolong persalinan ke rumah-rumah. - dr. Fira Medlia Sari

Saya bertugas di pulau Enggano yang merupakan salah satu pulau terluar di NKRI, disana ada Puskesmas dan juga Rumah Sakit Lapangan / Bergerak, untuk mencapai kesana dibutuhkan waktu 12-18 jam naik kapal Ferry, yang jadi permasalahan adalah dokter cuma ada 2 dengan beberapa bidan dan beberapa perawat, selain itu kami disana tidak ada listrik jadi rata-rata penduduknya memakai getset yang harga BBM-nya 2x lipat dari harga biasa, sebenarnya sangat banyak permasalahan kesehatan dipulau Enggano, akan tetapi disini saya cuma bisa memberikan gambaran umum saja bahwa kami sangat membutuhkan tambahan dokter, bidan, perawat dan paramedis lainnya karena hampir tiap hari kami bertugas sampai 24 jam. - dr. Zulfikri Rambe

Saya PTT pada salah satu Kabupaten di Provinsi Riau. Puskesmas saya termasuk Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Puskesmas saya sangat tidak layak karena bangunannya sudah mulai retak dan lantainya longsor. Akses air bersih juga kita tidak ada. Untuk mencuci alat kita menggunakan air hujan, stetoskop, spigmometer dan thermometer juga tidak ada. Pernah PEMDA memberikan kita stetoskop dan spighmometer tapi itu tidak bertahan lama karena diberi yang kualitasnye jelek. Akhirnya kita menggunakan biaya pribadi untuk membeli. Puskesmas kami kami baru saja diberikan dental unit, tapi listrik disini tidak ada karena listrik cuma hidup dari pukul 17.00 s/d 06.00. Apabila ada tindakan untuk mencabut gigi pasien hanya kami suruh untuk membuang ludah tanpa harus dikumur.. hal ini dikarenakan tidak adanya air bersih, sementara pasien kalau disuruh membeli aqua gelas mereka tidak bersedia. Dulu kalau ada pasien keracunan kami tidak bisa melakukan bilas lambung kerena memang alatnya tidak ada.. lalu alat-alat sederhana seperti ETT juga tidak ada. - dr. Ervi Sembiring


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun