Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Rasa Sakit Tiba

4 Mei 2013   16:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:07 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1367661010137316884

Di antara sekian banyak syair-syair Jalaluddin Rumi yang begitu menelusupdalam ke latar jiwa, ada sebuah syair yangbegitu lembutdan agung, tentang betapa tangan Tuhan sedang bekerja pada orang-orang yang sakit dan orang-orang yang dilingkupi penderitaan di dalam kehidupannya :

Rasa sakit akan timbul ketika dengan sadar diri dicermati: rasa sakit itulah yang akan mengeluarkan seseorang dari hijab bangga-diri.[1]

Apakah kita merasa hidup ini tenang-tenang saja, tanpa resiko yang dihadapi, tanpa tantangan yang berarti? Konon, orang yang menjalani hidup ini sebagai tiupan angin lembut dan ayunan gelombang dalam kolam ikan, atau mungkin juga riakan aquarium dan datar-datar saja dalam sebuah zona nyaman adalah orang-orang yang semestinya menangisi diri. Ia adalah orang yang harus mempertanyakan posisi dan kualitas dirinya di tengah kehidupan. Seperti seorang nelayan, ia tidak puas mencari ikan di bibir pantai, melainkan mendayung perahu ke tengah lautan. Semakin jauh dari bibir pantai, maka ia akan semakin banyak mendapatkan tangkapan dengan berbagai jenis ikan. Ia juga akan memiliki pengalaman bagaimana menaklukan dan menyiasati gelombang. Para pelaut dan nelayanlah yang akan menemukan banyak makna kehidupan bukan orang yang menjaring ikan di tepian.

Berbicara tentang penderitaan dan zona nyaman ini, bukanlah hal baru. Banyak literatur yang bercerita tentang orang-orang yang sukses menemukan makna kehidupan setelah melewati banyak penderitaan, misalnyaSidharta Gautama. Pendiri agama Buddha ini meningalkan kenyamanan hidupnya untuk mencari arti kehidupan. Sebagai seorang putra bangsawan yang bernama Shuddhodana, tak ada tantangan sama sekali dalam hidupnya, sampai pada akhirnya ia memutuskanmencari kehidupan bathin. Sebenarnya, sebagai seorang ksatria ia mungkin suatu hari akan berhadapan dengan situasi perang untuk menaklukan musuh. Namun, Sidharta melihat ada perang yang sebenarnya lebih dahsyat, yakni pertempuran yang berasal dari dalam diri. Sang Buddha terus menaklukan diri dari kecanduan kepada kesenangan. Ia menghayati dengan seksama tentang kelahiran, sakit, kematian,kelahiran kembali dan tentang tanya yang tak terjawab. Sang Buddha terus menempa dirinya untuk melerai racun-racun jiwa, seperti amarah, hawa nafsu dan keinginan untuk memenangkan ego diri, agar ia dapat mencermati, "aku" lalu menggenggamnya. Sampailah pada sebuah penerangan tentang, apa arti rasa sakit. Menurut ajaran Buddha : sakit, usia tua, kematian sebagai ciri dari penderitaan merupakan proses yang niscaya yang akan memberikan makna dan hikmah dalam perjalanan mencapai tujuan tertinggi. Tetapi, ada yang lebih penting daripada itu yakni, kesehatan mental, bagaimana menyikapi rasa sakit, yakni dengan cara mengikhlaskan kedatangannya dengan penuh ketenangan. Para terapi Buddhis mengatakan bahwa penyebab tubuh ini menjadi sakit dan sehat adalah karena adanya melalui perasaan jasmani (rasa sakit) dan keadaan pikiran (emosi-emosi) yang mempengaruhinya. Dengan begitu, apabila tubuh ini ingin tetap sehat, hendaknya menyadari segala bentuk-bentuk pikiran emosi-emosi yang timbul dalam diri. Yang dimaksud dengan bentuk pikiran yang menyebabkan penderitaan adalah: (1). Keserakahan, (2). Harga diri yang terluka, (3). Iri hati, (4). Kebencian, (5). Kekhawatiran-kekhawatiran.[2]

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Edward E Smith, Direktur ilmu saraf kognitif di Columbia University, Australia ditemukan, orang yang kehilangan orang yang dicintainyadengan kepedihan yang mendalam diperkirakan memiliki risiko terkena serangan jantung 6 kali lipat lebih besar. Penelitian inidikuatkan dari Universitas Duke yang diterbitkan di New England Journal of Medicine (2005)  menunjukkan bahwa stres yang berlebihan, dapat memicu hormon adrenalin 3 - 4 kali lipat dan berisiko terkena serangan jantung. Stres luar biasa diyakini sebagai suatu penyebab. Kondisi ini ternyata dapat mengurangi kemampuan jantung untuk memompa darah.

Sementara itu, olehMichael Babyak dari Universitas Duke (lagi) dan rekan-rekannya membuat penelitianlain lagi di Amerika selama 22 tahun dengan sampel 750 orang. Ditemukan, bahwa orang yang senang memusuhi orang lain, tidak suka berteman memiliki peluang 60% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang ramah, senang berteman dan berbicara tenang.[3] Dalam penelitian di rumah sakit Lehigh Valley Pennsylvania menemukan, bahwa orang yang gampang marah, menyimpan perasaan bermusuhan, suka bersikap sinis, agresif berkaitan erat dengan peningkatan kematian akibat penyakit infark jantung.[4]

Namun, reaksi-reaksi tubuh kepada masalah-masalah di luar sesungguhnya itu sangat manusiawi. Terkadang orang sering lupa, apabila ditimpa masalah yang sama, misalnya duka cita yang mendalam karena pengkhianatan oleh orang yang dicintainya apakah mereka akan sekuat itu? Kita tidak bisa selalu memvonis seseorang sakit jantung atau kanker karena kegagalan menyikapi derita dalam hidupnya. Kita tidak bisa menghakimi orang lain sebelum merasakan andai seperti dirinya. Karena dalam kehidupan ini banyak variable yang tak terduga, dan tak semudah teori-teori kehidupan seperti yang biasa didengungkan para motivator dan hasil penelitian yang dilakukan secara kwantitatif.Dengan arif, Jalaluddin Rumi berkata dalam syairnya :

Yang tak merasakan sakit itu penyamun,

Karena tanpa merasakan sakit, itu sama artinya dengan mengatakan,

Aku lah Rabb.[5]

Belajar Dari Kehidupan Para Nabi

Dalam kisah-kisah sejarah kehidupan, hampir tak ada orang-orang yang sukses tanpa melewati sebuah penderitaan. Al Qur’an memuji para rasul yang melewati penderitaan demi penderitaan yang berakhir dengan kemenangan. Kemenangan di dalam Al Qur’an tak ada yang terkait sedikitpun dengan tolok ukursecara matematis, misalnya jumlah kekayaan, tetapibagaimana para Rasulullah itu dapat memenangkan pertempuran dengan dirinya sendiri, menaklukan ego untuk tetap dalam ketaatan kepada Tuhannya, dan menyeru manusia untuk menyembah Allah, bukan selainNya. Manusia, dalam pandangan Islam, ia adalah makhluk ruhani. Adapun tubuh hanyalah tunggangan dari ruh yang menjadi irama jiwa dan akan menjadi parameter kualitaskehidupan. Jiwa itu datang dari alam keabadian, manusia sesungguhnya adalah makhluk akhirat yangsedang menjalani hidup dalam fananya dunia. Tubuh seperti halnya bumi, suatu waktu akan hancur, hanya jiwa yang akan kekal abadi.

Sakit dalam pandangan Islam, adalah sebuah ujian dan sangat manusiawi, sebagai sebuah alarm yang mengajari tentang kefanaan, mengajari hikmah dan kearifan. Di sana ada latihan kesabaran, seperti ketenangan dan kesabaran nabi Ayyub. Dalam penderitaan, ada ujian bagaimana mengatasi rasa sakit dengan berusahauntuk sembuh, dengan sebuah keyakinan, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, “Setiap penyakit ada obatnya..” Al Qur’an juga menandaskan, tentang diturunkan-NyaQur’an sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang beriman.(Al Isra’ :82). Karenanya, orang-orang yang sering mendaras Qur’an ternyata jiwanya lebih stabil, wajahnya lebih tenang dan berseri-seri. Secara langsung, orang-orang yang menyelami kitab suci dan berusaha mengamalkannya sekalipun jauh dari kesempurnaan, jiwanya lebih tentram. Umumnyamereka mampu menyikapi sakit dengan cara yang lebih tegar dan tenang.

Wahai Tuhan, segala yang Engkau berikan padaku adalah izin-Mu

Jika Engkau memberikan derita dan sakit ini sebagai kasih sayang-Mu

Aku, hamba-Mu adalah orang yang terpilih untuk Engkau naikan derajat di sisi-Mu

Aku menyambutnya..

Selamat datang wahai sakit, berilah aku kekuatan dan kesabaran di dalamnya..

Tulisan ini akan ditutup oleh syair yang begitu lembut Jalaluddin Rumi menulis untuk orang-orang yang ditimpa penderitaan dan sakit untuk tetap dalam ketenangan dan harapan :

Dialah yang sebenarnya menggenggam tanganmu ketika engkau digerakkan menelusuri Jalan; Dialah yang sesungguhnya memikul beban-beratmu di pendakian panjang ini: berharaplah, agar engkau, dari saat ke saat, dilimpahi Hembusan yang Maha Rahman.[6]

[1] http://ngrumi.blogspot.com/2010/05/ketika-rasa-sakit-tiba.html

[2] http://id.netlog.com/ksubho/blog/blogid=12623

[3] Mulyana, Deddy, “Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar”, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2005, hlm. 21.

[4] Ibid.

[5] http://ngrumi.blogspot.com/2010/05/ketika-rasa-sakit-tiba.html

[6] http://ngrumi.blogspot.com/2010/05/ketika-rasa-sakit-tiba.html

Catatan : Judul tulisan ini meminjam dari : http://ngrumi.blogspot.com/2010/05/ketika-rasa-sakit-tiba.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun