Stefanus Sawa, Satpam yang Paham Hasiat Tanaman Obat
Di bawah rumah bambu, aku duduk seorang diri. Niatnya sih ingin istirahat dan berlama-lama di bawah rindang pohon di kawasan taman Lapangan Banteng, Jakarta. Sebab, terasa sejuk di badan. Apa lagi saat udara Jakarta terasa panas. Celana pendek, kaos lengan pendek yang kukenakan sangat membantu untuk bersantai pada Selasa (29/8) siang.
Kupandangi rerumputan makin mengering. Mobil tanki air dalam jumlah banyak untuk menyirami rumput dan pepohonan taman di lapangan bersejarah ini tak cukup membantu untuk menjaga agar tanaman selalu segar. Kulihat beberapa petugas wara-wiri membawa air untuk menyirami tanaman. Mereka tetap
bersemangat meski panas tengah menderanya.
Suara bising klakson mobil sudah mulai berkurang di siang hari. Tidak seperti pada pagi hari tadi. Di kawasan itu, pada pagi hari kemacetan tak terkira. Suara bising mobil pada hari-hari tertentu bertambah ramai dengan suara pasukan tentara berlari pagi dengan irama serempak, kompak dan bersemangat.
Mereka mengenakan kostum olahraga hijau berlari dengan pengawasan komandannya. Semangat dan suka ria terlihat dari wajah-wajah mereka. Banyak juga karyawan memanfaatkan lapangan itu untuk berolahraga pagi.
Tapi, ada pemandangan lain. Yaitu beberapa karyawan yang bekerja di sekitar Lapangan Banteng, lari terbirit-birit menuju ke kantornya agar tidak telat. Terlambat berarti ada konsekuensinya, tunjangan kinerja dipotong.
Kuperhatikan keadaan sekitarnya sambil menikmati gedung pencakar langit dan dua rumah ibadah megah berdampingan: Masjid Istiqlal dan Gereja Katederal. Kadang terdengar suara burung ikut nimbrung dalam suasana hiruk pikuk.
Kuduga burung gereja yang berpindah tempat mencari makan. Burung-burung itu kupastikan punya sarang di masjid dan gereja.
Lapangan Banteng bagiku memang punya kesan khusus tatkala masih menjadi Terminal Bus sekitar tahun 80-an. Ketika masih kuliah dan bokek , punya uang Rp200 dicopet di dalam bus yang sarat penumpang. Tatkala sang kernet minta bayaran, dompetku telah hilang. Sang kernet bus marah lantaran saya tak bayar. Saat musim kampanye, ada kernet bus dipukuli karena sering menyebut banteng...banteng melulu.
Di lapangan ini, dulu, polusinya sangat tinggi. Knalpot bus dan kompur minyak tanah tak ada bedanya. Soalnya, sama-sama mengeluarkan asap tebal. Itulah gambaran Lapagan Banteng, saat masa lalu dan keadaan masa kini. Dinamis.