Mohon tunggu...
Edward Simanungkalit
Edward Simanungkalit Mohon Tunggu... -

Selama ini terus belajar menulis yang dimulai sejak tahun 1993 hingga sekarang. Belakangan belajar menulis buku dan telah berhasil menulis buku: "ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula" (2015). Aktivitas menulis ini didasari satu keyakinan bahwa "kebenaran itu memerdekakan". Ternyata belajar itu tak ada hentinya, karena belajar di Sekolah Kehidupan tak ada habis-habisnya. All Truth is God's Truth.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang Simalungun Keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula–Pusuk Buhit; Fakta atau Mitos?

16 Desember 2015   00:24 Diperbarui: 22 Maret 2016   12:14 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Edward Simanungkalit

Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula – Pusuk Buhit

Hubungan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit ini dengan Orang Simalungun dimulai dari Si Raja Batak itu sendiri. Menurut penuturan W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: TAROMBO DOHOT TURITURIAN NI BANGSO BATAK” (1926), bahwa Si Raja Batak adalah keturunan dari Raja Ihat Manisia sebagai hasil perkawinan dari Si Borudeak Parujar dengan Raja Odapodap. Mereka berdua adalah penghuni langit ketujuh yang turun ke bumi dan mendiami Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Puhit. Mereka berdua turun-naik melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjur Mula-mula dan Sianjur Mula-mula dipandang sebagai kampung awal persebaran manusia. Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia. Dalam tarombo dan turiturian itu diceritakan bahwa keturunan Si Raja Batak ada sebagian ke tanah Pakpak menjadi Batak Pakpak, ke tanah Karo menjadi Batak Karo, ke tanah Simalungun menjadi Batak Simalungun, dan ke tanah Mandailing menjadi Batak Mandailing. Begitulah ringkasan penuturan W.M. Hutagalung dalam bukunya yang laris manis itu.

Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir" dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Tinggalan megalitik yang mereka temukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak. Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung  melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba (Wiradnyana & Setiawan, Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013).

Berdasarkan penelitian arkeologi di atas, disimpulkan bahwa pendukung budaya Dong Son yang merupakan penutur bahasa Austronesia telah datang dari Cina Selatan setelah melalui Taiwan terus berakhir di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu (Wiradnyana, 2015). Hal ini sesuai dengan Teori Out of Taiwan yang sangat terkenal itu. Mark Lipson (Juni 2014) ---  dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP), yang data awalnya dipasok oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman --- melakukan analisa statistikal atas DNA penutur Austronesia. Analisa atas DNA penutur Austronesia itu termasuk DNA Orang Toba (Mark Lipson,  New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations, 2014:85-90) dapat disimpulkan bahwa Orang Taiwan yang datang ke Sianjur Mula-mula berasal dari suku Amis dan suku Atayal, yang kedua-duanya merupakan suku asli Taiwan. Khusus suku Amis dan suku Atayal merupakan keturunan dari suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik) yang sudah bercampur dengan penutur Austronesia, sehingga kedua suku ini memiliki DNA: Austronesia + Austroasiatik. Diperkirakan percampuran itu terjadi di Cina Selatan dan oleh karena ledakan penduduk, mereka pun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Amis dan suku Atayal tadi. Jadi, DNA penghuni awal Sianjur Mula-mula terdiri dari Austronesia dan Austroasitik.

Orang Simalungun

Sebagaimana dikemukakan dalam buku: “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” (Agustono & Tim, 2012:-24-47), bahwa Orang Simalungun cikal-bakalnya dari Kerajaan Nagur yang sudah berdiri sejak abad ke-6 sebagaimana menurut catatan Dinasti Sui. Kerajaan Nagur, cikal-bakal masyarakat Simalungun ini, didirikan oleh Datu Parmanik-manik, yang selanjutnya berubah menjadi Damanik. Pada dasarnya Kerajaan Nagur ini tetap berkelanjutan hingga masa Raja Maropat (1400-1907) dengan Raja bermarga Damanik di Kerajaan Siantar terus berlanjut lagi pada masa Raja Marpitu (1907-1946). Raja Nagur, Datu Parmanik-manik itu, berasal dari India. Raja Maropat (1400-1907) dibentuk menurut nama panglima Kerajaan Nagur, yang menjadi 4 kelompok marga di Simalungun, yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba, yang disingkat SiSaDaPur. Marga yang empat inilah marga Simalungun asli yang menjadi marga pemilik tanah di Simalungun sejak zaman dulu.

Lebih jauh, menurut arkeolog Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak, bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austroasiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar China Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil  mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur  suku bangsa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). 

Ras Australomelanesoid maksudnya adalah Orang Negrito yang merupakan pendukung budaya Hoabinh. Orang Negrito, pendukung budaya Hoabinh, inilah yang pertama datang ke Sumatera bagian Utara setelah Sundaland tenggelam, karena sebelumnya Sumatera, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil lainnya masih menyatu dengan Semanjung Malaka yang disebut Sundaland. Penelitian arkelogi yang telah dilakukan sebelumnya di beberapa tempat di pesisir timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang sampai Lhok Seumawe menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah jauh hari datang (Wiradnyana, 2011:19-21, 127).  Apa yang dikemukakan Harry Truman Simanjuntak tadi mengkonfirmasi hasil penelitian P. Voorhoeve (1937) yang menyatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bagian rumpun bahasa Austronesia (Bahasa Simalungun, dalam Wikipedia). Oleh karena itu, Orang Simalungun merupakan penutur bahasa Austronesia. Apabila menggunakan pendapat tadi, maka diperkirakan ketiga penutur bahasa ini sudah datang sebelum kedatangan Raja Nagur ke Simalungun.

Antara Fakta atau Mitos

Apabila melihat kepada Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula, maka jelas bahwa Si Raja Batak adalah Orang Taiwan yang memiliki DNA Austronesia dan Austroasiatik. Sementara Raja-raja Nagur berasal dari India, sehingga berbeda sekali dengan Si Raja Batak yang dari Taiwan. Apalagi melihat pada waktu kedatangan keduanya di mana Si Raja Batak diperkirakan datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sedang Kerajaan Nagur sudah eksis pada abad ke-6 (enam), sehingga jauh sekali rentang waktunya.  Gambaran hasil penelitian mengenai migrasi yang terjadi ke Indonesia selama ini memperlihatkan bahwa ras australomenesoid yang lebih dahulu datang pada masa Mesolitik, 10.000-6.000 tahun lalu. Di samping itu masih ada penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia, yang kedua-duanya merupakan ras Mongoloid, mereka juga datang bermigrasi, tetapi akhirnya penutur Austronesia memenangkan bahasa Austronesia di Simalungun. Fakta ini membuktikan bahwa Orang Simalungun bukanlah keturunan Si Raja Batak, karena Si Raja Batak itu paling belakangan tiba di Sianjur Mula-mula – Pusuk Buhit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun