Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu...

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

'Kita' Telah Meminggirkan 'Kami'?

24 Agustus 2012   04:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:23 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam artikel Kompasiana ini, saya menuduh sebagian besar anggota masyarakat bahasa Indonesia tak pintar membedakan penggunaan pronoma ‘kita’ dan ‘kami’. Dalam artikel itu, saya uraikan bahwa banyak orang dari berbagai kalangan menggunakan ‘kita’ untuk pronoma yang seharusnya ‘kami’. Itu terlihat dalam pembicaraan sehari-hari, dalam sinetron, dalam berbagai talk-shows, dan dalam berbagai kesempatan lain.

[caption id="attachment_194801" align="aligncenter" width="625" caption="Ilustrasi : Eddy Roesdiono"][/caption]

Pronoma ‘kita’ digunakan untuk berbicara dengan orang lain dalam kelompok (inklusif) dalam hal mana orang yang diajak bicara adalah bagian dari pembicara, misalnya : “Kita harus mencari cara untuk menyelesaikan masalah kita ini”. Pronoma ‘kami’ digunakan untuk berbicara dengan orang lain di luar kelompok (eksklusif) dalam hal mana orang yang diajak bicara bukan bagian dari pembicara, misalnya, “Pak Polisi, kami tersesat. Bisakah Pak Polisi menolong kami?”.

Saat ini, banyak penutur bahasa Indonesia yang—dengan contoh kalimat di atas—mengatakan : “Pak Polisi, kita tersesat. Bisakah Pak Polisi menolong kita?”. Nah, ini artinya baik si pembicara dan Pak Polisi sama-sama tersesat.

Tuduhan saya itumasih berlaku, dan saya punya tuduhan baru, yakni pembiaran terjadinya kesalahan. Bila kita simak baik-baik, kesalahan penggunaan ‘kita’ telah teramat merata di kalangan penutur bahasa Indonesia, yang telah berubah menjadi kebiasaan yang sulit dibetulkan. Parahnya, ‘kita’ kadang-kadang bisa pula menjadi ‘kita-kita’ : “Pak Polisi perlu menolong kita-kita. Kita-kita tak tahu jalannya!”. Waduh!

Mari kita perhatikan contoh-contoh salah guna di bawah ini :

Tanggal 24 Agustus 2012, di sebuah sinetron televisi, ada adegan sekelompok anak muda berbicara kepada satu lawan bicara dari luar kelompok itu. “Kamu kelihatannya memusuhi kita. Apa kamu punya masalah dengan kita?”. Bisa kita simpulkan, penulis skenario sinetron ini tak memahami perbedaan ‘kita’ dan ‘kami’.

Simak pula sebuah iklan kosmetik di televisi. Dalam adegan iklan ini beberapa gadis cantik berseru kepada sejumlah gadis lain yang kurang cantik : “Kalau mau seperti kita, pakai produk XXX”. Ah, apa susahnya bagi penulis naskah iklan ini untuk berpikir sedikit dan mengubah ‘kita’ menjadi ‘kami’ yang lebih benar.

Kesalahan-kesalahan seperti ini makin meluas dan penuturnya makin banyak. Karena terbiasa mendengar dan menggunakan ‘kita’dengan serampangan, akhirnya ‘kita’ menjadi pronoma yang otomatis terucap bilamana penutur berbicara atas nama kelompok kepada orang lain, yang seharusnya ‘kami’. Boleh jadi ini diperparah pula oleh pengaruh pronoma serupa dalam bahasa Inggris yang hanya ‘we, us, our’ tanpa membedakan makna ‘kami’ dan ‘kita’. Walhasil, dewasa ini, ‘kami’ menjadi pronoma anak tiri dalam bahasa Indonesia yang mulai kehilangan hak, mulai terpinggirkan dan hanya bisa tampil dalam ranah formal.

Terus terang saya agak sedih melihat nasib ‘kami’. ‘Kami’ sebelumnya punya tempat setara dengan ‘kita’, dalam arti digunakan semestinya sesuai tugasnya. ‘Kami’ bahkan juga memiliki fungsi terhormat untuk menggantikan ‘saya’ dalam pembicaraan formal, semacam yang bisa Anda temukan dalam surat resmi seperti ini : “Bersama ini kami mengajukan lamaran pekerjaan pada perusahaan yang Bapak pimpin”

Apakah masyarakat bahasa Indonesia akan tetap membiarkan ‘kami’ terpinggirkan oleh ‘kita’? Bisa jadi begitu, bilamana tak ada upaya koreksi yang memadai. Seharusnya, media massa seperti televisi, radio, media cetak yang punya peran besar dalam pembinaan langsung bahasa Indonesia bisa mulai mengambil langkah serius untuk memikirkan nasib ‘kami’. Pekerjakan penyunting bahasa Indonesia untuk memeriksa naskah atau rencana bicara sehingga ‘kita’ dan ‘kami’, sebagai kekayaan perbendaharaan bahasa Indonesia, bisa duduk manis sejajar sesuai fungsinya.

Ataukah masyarakat kita memang sedang—baik sengaja dan tidak sengaja-- menobatkan ‘kita’ sebagai ragam rendah ‘kami’?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun