Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jakarta Kota Urban yang Jenuh Kendaraan Bermotor

18 Juni 2015   13:18 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:44 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Saya adalah salah satu kaum urban yang ikut berjibaku dengan jutaan kaum urban lain datang ke Jakarta, berharap ada peningkatan kesejahteraan dengan bekerja sebagai guru. Saya mengandalkan gaji yang diterima setiap bulan untuk bertahan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan kota yang boleh dikatakan amat boros. Boros karena untuk makan dengan layak saja mesti mengeluarkan kocek cukup dalam hampir dengan separuh gaji. Sisa gaji lainnya untuk mengontrak atau nge kost . Bila ada sedikit rejeki dengan menerima bonus atau THR baru bisa menyisihkan uang untuk di tabung. Jakarta bisa menghasilkan keuntungan besar bagi mereka yang kreatif dan tekun bekerja. Bila celah waktu mampu dimanfaatkan dengan baik, banyak pekerjaan yang menghasilkan uang dan cukup berlebih untuk bisa ditabung untuk masa depan.

Karena saya adalah guru swasta yang hanya mengandalkan gaji dan sedikit pekerjaan sampingan lain sebagai guru les(dulu: sekarang tidak) gaji yang diterima itu cepat menguap. Akhirnya setiap bulan mesti berhitung untuk pengeluaran dan pemasukan agar tidak tekor.

Tuntutan di kota metropolitan itu ternyata bukan hanya keinginan untuk mendapat pendapatan yang layak. Gengsi, gaya hidup juga mesti diperhatikan. Bayangkan Dengan Mal yang ada di mana mana paling tidak sekali-sekali kita mesti refreshing sekedar mencuci mata dengan melihat produk glamaour megapolitan. Kalau tidak, dari bisik bisik teman atau tetangga mengatakan”Si mas itu nggak gaul amat, hidupnya cuma dari kontrakan ke kantor, setelah pulang, diam dan keluar lagi saat makan atau kerja”. Yang senang bergaul di kota yang serba mengeluarkan biaya ini tentu harus punya anggaran lebih. Ngopi di Kafe saja paling tidak mengeluarkan kocek lebih dari 50 ribu apalagi yang punya gengsi besar tentu butuh preferensi lebih untuk bisa bertahan dalam kehidupan sosialita kota yang amat boros. Bila anda hobi kuliner tentu butuh modal lagi agar anda terpuaskan dengan tuntutan perut sekaligus hobi yang tidak murah tersebut. Saat keluar dari rumah saya butuh kendaraan yang nyaman untuk menunjang aktifitas agar cepat sampai di tempat kerja.

 

Saat pertama kali menginjakkan kaki di jakarta sekitar tahun 2001, saya sempat mengalami shock culture. Di desa tempat saya tinggal kendaraan bermotor belum menjadi kebutuhan penting kalau ke kota bisa dengan naik angkot. Angkot di desapun tidak sepadat dengan metropolitan di jakarta. Ketika saya belum punya kendaraan pribadi(motor) saya mesti berjibaku dengan berjalan kaki menuju pinggir jalan raya, mencari kendaraan dengan mengejar waktu agar tidak terjebak macet. Setiap detik, setiap menit begitu berharga, sebab jika menyepelekan sebagai pekerja akan terkena pinalti karena tidak tepat waktu sampai di tempat kerja. Bisa bisa berujung SP atau lebih parah lagi dipecat. Subuh-subuh saya mesti sudah keluar untuk mendapatkan kendaraan yang cepat dan menghindari jebakan macet yang memang menjadi pemandangan keseharian Jakarta.

Keterkejutan secara budaya itu karena di kota seperti Jakarta waktu itu begitu amat berharga. Bila bisa mengelola waktu dengan baik maka banyak kesempatan bisa didapat dan otomatis bisa menikmati kehidupan sosialita kota yang menawarkan kenyamanan bagi yang punya uang lebih. Ketika akhirnya saya punya kendaraan pribadi yang mesti dipersiapkan adalah menyiapkan fisik yang prima agar tidak terjebak dalam budaya grasak-grusuk sebagian besar pengendara motor di jakarta yang seakan –akan di kejar setan saat di jalanan. Coba lihat dan amati sekali-kali di trafick light Jakarta. Ketika lampu merah berubah kuning lalu menjadi kuning sejumlah kendaraan roda dua itu seperti air bah begitu lampu menyala muntahan kendaraan itu meruyak dan menyerbu jalanan di depannya. Dari berbagai merk kendaraan kota itu orang-orang seperti dikejar target untuk samapai ke tempat tujuan. Nah, pengendara banyak yang tidak punya etika berkendara, main zig-zag, melaju dengan kecepatan tinggi ditengah padatnya lalu lintas yang padat. Tidak heran setiap hari ada saja terjadi peristiwa kecelakaan yang menyebabkan pengendara terluka parah banyak pula yang tewas di tempat.

 

Hampir di setiap sudut Jakarta tidak luput dari kemacetan. Saat awal memasuki kehidupan kota Jakarta kemacetan terkonsentrasi pada jalan-jalan protokol yang sering dilalui kendaraan bermotor, di jalan-jalan kecil menuju perumahan dan gang –gang Jakarta tidak terlalu signifikan kemacetannya. Periode tiga tahun terakhir saat kendaraan bermotor tidak lagi sebagai barang mewah karena sudah dimiliki oleh hampir setiap orang. Bahkan bisa diilustrasikan bahwa setiap pintu rumah penduduk Jakarta memiliki kendaraan minimal dua buah. Bisa dibayangkan jika pengendara motor keluar dan memenuhi jalan-jalan Jakarta akan macet total tidak bergerak. Kemudahan membeli motor dengan cara kredit dengan DP murah membuat banyak orang jakarta nekat memiliki kendaraan. Kalau dulu kendaraan itu sebagai kebutuhan dasar untuk aktifitas pekerjaan, sekarang banyak bergeser sekedar mengoleksi, atau sebagai hobi dan rasa penasaran akan tawaran-tawaran menarik diskon dan mengejar hadiah lain yang lebih menjanjikan. Sekarang keluar dari rumah rasanya menjadi siksaan luar biasa. Saya yang hidup di perkampungan padat penduduk di Kapuk Cengkareng merasakan betapa populasi kendaraan bermotor telah mencapai titik jenuh. Ngabuburit yang harusnya nyaman dilakukan menjelang buka puasa, menikmati suasana sambil menunggu datangnya senja, terasa menyakitkan karena jalan-jalan sudah penuh dengan kendaraan. Bahkan saat terjebak kemacetan, emosi bisa bisa meluap karena setiap pengendara tidak mau mengalah dan terus merangsek ke depan. Tidak banyak orang mau mengalah untuk membuka jalan demi tertibnya lalu lintas.Godaan orang yang berpuasa adalah mengendalikan amarah. Dan di sini banyak orang yang belum bisa mengendalikan emosi.

Titik kejenuhan kendaraan bermotor itu telah menimbulkan ekses:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun