Diskusi biasanya membuka pikiran dan melahirkan gagasan baru. Pendapat satu orang bisa saja digugat, dikritisi hingga diperkuat kalau ada diskusi. Bahkan diskusi bisa menciptakan pendapat baru yang berbeda dengan gagasan awal.
Tetapi kalau tidak ada diskusi, pendapat satu orang bisa menjadi motor tunggal yang menggerakan ide dan tingkah laku satu kelompok. Persoalannya, kalau tidak semua orang menyukai pendapat itu.Â
Alhasil, orang menuruti pendapat itu karena paksaan dan tekanan tertentu. Atau juga, orang menuruti gagasan itu hanya untuk menyenangi pembuat gagasan.
Biasanya saat ide dan gagasan dipaksakan, hasilnya juga tidak maksimal. Bahkan hasilnya bisa nihil. Tetapi kalau gagasan yang terlahir itu karena buah konsensus bersama, hasilnya bisa berakhir maksimal. Karena itu, untuk mendapatkan gagasan bersama, diskusi adalah salah satu cara tepat.
Keluarga merupakan salah satu ladang tempat berdiskusi. Bahkan keluarga bisa menjadi tempat untuk melatih diri kita untuk berdiskusi.Â
Dalam arti, pendapat satu anggota keluarga bukanlah ide yang mutlak diikuti oleh anggota keluarga yang lain. Tetapi pendapat itu bisa saja diujicoba lewat berdiskusi dengan anggota keluarga lainnya.
Diskusi di dalam keluarga sangatlah penting. Tentunya, kita tidak mau kalau hidup kita serba diatur menurut pendapat orang lain. Saya kira hal ini terjadi juga pada relasi antara suami-istri. Bahkan pendapat anak-anak juga butuh didengarkan.
Diskusi antara Suami dan Istri
Relasi suami dan istri tidak terlahir karena faktor superiotas antara satu terhadap yang lain. Awalnya relasi itu terbangun karena adanya kesamaan ide dan gagasan.
Biasanya orang setuju untuk menjalin hidup bersama, suami dan istri karena adanya kecocokan antara satu dengan yang lain. Tetapi kalau tidak ada kecocokan, kecenderungan yang bisa terjadi adalah perpisahan atau konflik.
Istri juga pastinya tidak mau sekadar turut tunduk pada pendapat suami. Bagaimana pun juga istri pastinya mempunyai pendapat yang bisa menambah, mengkritisi dan menentang pendapat suami.