Mohon tunggu...
Doni Safiina
Doni Safiina Mohon Tunggu... Pemerhati politik, ekonomi dan sosial budaya -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ramai-Ramai Berdebat tentang PKI

26 September 2017   14:21 Diperbarui: 26 September 2017   14:32 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini menjelang akhir bulan september di Media sering kita temui artikel, berita, liputan, talkshow dan sebagainya yang membahas permasalahan luka lama Indonesia  pada 30 September 1965 atau dikenal dengan peristiwa G30S/PKI. Saya sebagai masyarakat Indonesia yang tidak mengalami secara langsung peristiwa berdarah tersebut dan hanya bisa mendengarkan peristiwa yang terjadi di masa lampau dari orang tua, guru sejarah, maupun dari artikel yang ada di media banyak sekali versi terkait peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam.

 Apabila menggali lebih dalam saya sendiri bingung dengan berbagai cerita terkait tragedi tersebut mengingat banyak sekali versi dari peristiwa pada tahun 65 tersebut. Kini isu terbaru yang sering muncul dan menjadi polemik di masyarakat  ialah adanya rencana penayangan kembali Film G30S/PKI di televisi,  penayangan Film G30S/PKI oleh TNI dan remake Film G30S/PKI agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Hingga detik ini masih banyak orang yang memperdebatkan kebenaran dari peristiwa G30S/PKI mulai dari rakyat jelata, aparat keamanan, pemerhati pendidikan, sejarawan, wartawan hingga politisi di tingkat kabupaten sampai yang ada di Senayan masih sibuk berkutat dengan versi masing-masing. Masing-masing pihak berpegang teguh pada pendirian masing-masing dan beranggapan bahwa yang mereka percayai merupakan fakta yang sebenarnya dan versi yang bersebrangan dianggap sejarah yang salah.

Di Indonesia sendiri sebenarnya telah terjadi dua kali pemberontakan PKI yaitu pada tahun 1948 dan pada tahun 1965. Akan tetapi, mengapa hanya peristiwa pemberontakan pada tahun 1965 yang sering kita dengar dan kita bahas. Justu banyak orang Indonesia sendiri tidak tahu PKI pernah melakukan pemberontakan pada tahun 1948 padahal dari situlah bibit-bibit ideologi komunis muncul. Sebagai warga negara, saya sendiri prihatin dengan kondisi bangsa saya sendiri yang mengungkit-ungkit dan memperdebatkan permasalahan tersebut. Padahal masih banyak permasalahan yang dihadapi bangsa ini yang akan mempengaruhi masa depan bangsa kita tercinta.

Ada ungkapan yang diutarakan oleh Winston Churcil bahwa "History has been written by the victors"(Sejarah ditulis oleh para pemenang) dan pihak yang kalah hanya bisa menceritakan peristiwa yang terjadi tanpa bisa menulis sejarah. Ungkapan ini sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 dimana kejadian tersebut kebetulan dimengkan oleh TNI atau pemerintah. Tentunya akan lain cerita apabila PKI yang memenangkan peristiwa tersebut dan sejarah yang ada juga akan berbeda. Selain itu, pakar sejarah juga mengatakan bahwa konstruksi sejarah ditentukan oleh subjektivitas pembuat narasi sejarah. Fakta sejarah akan berbeda jika ada suatu kepentingan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa subjektivitas narator sejarah memiliki peran yang besar dalam melakukan rekonstruksi suatu sejarah.

Tidak etis lagi kita mendebatkan sejarah kelam tersebut tetapi lebih tidak etis lagi apabila kita melupakan sejarah yang telah terjadi. Orang bisa belajar dari pengalaman. Seharusnya sebagai bangsa yang besar Indonesia juga harus belajar dari sejarah masa yang lampau. Apa yang telah terjadi biarlah terjadi. Apabila kita mengungkit-ungkit masa lalu akan menyakiti pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Pengangkatan isu tersebut berpotensi digunakan oleh pihak asing dalam memecah belah bangsa Indonesia, mengingat setelah peristiwa 65 jutaan dollar hasil SDA Indonesia jatuh ke tangan asing melalui eksplorasi PT. Freeport. Tentunya kita tidak ingin hal tersebut terjadi kembali pada masa mendatang.

Ada pepatah mengatakan keledai tidak akan pernah jatuh ke lubang yang sama. Jangan sampai bangsa besar ini sama disamakan dengan keledai. Para tokoh-tokoh, cendekiawan, politisi hingga seluruh elemen masyarakat Indonesia yang saya cintai marilah melupakan masalah tersebut dan mari bersama-sama membangun bangsa kini agar anak cucu kita kelak dapat hidup bahagia dari kerja keras kita semua.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun