Yad Vashem adalah sebuah kawasan monumental di Israel yang di dalamnya tidak hanya sebagai monumen peringatan para korban Holocaust Nazi tetapi diabadikan pula orang-orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolong warga-warga Yahudi dari kekejaman Nazi. Dari luas areal 45 hektar, ada sebuah kebun yang khusus diperuntukkan bagi kalangan non Yahudi yang telah berjasa besar dalam menyelamatkan orang-orang Yahudi dari Holocaust. Kawasan ini dikenal sebagai kebun Righteous Among the Nations. Orang Jawa Pahlawan di Yad Vashem Pada artikel sebelumnya sempat disinggung tentang hadirnya sosok muslim yang diabadikan di kebun ini. Kali ini kejutan lain datang dari sebuah catatan kecil pada publikasi statistik situs resmi Yad Vashem. Secara sekilas, nama Indonesia tidak masuk dalam jajaran Righteous Among the Nations - per Country and Ethnic Origin. Namun pada sebuah catatan kecilnya disinggung keterangan: Includes two persons originally from Indonesia, but residing in the Netherlands. Jadi memang ada dua warga Indonesia yang tercatat Yad Vashem, namun karena ia lama berdomisili di Belanda, maka keduanya dimasukkan ke dalam kelompok Belanda. Dua orang warga Indonesia kelahiran Jawa tersebut adalah Tolé Madna dan Mima Saïna. Keduanya dianggap telah berani mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Alfred Münzer (anak bungsu dari keluarga Yahudi yang saat itu masih balita) dari Holocaust Nazi.
Saat anak ketiga dilahirkan, Belanda saat itu dalam posisi sudah diinvasi oleh Jerman. Sebelumnya, Belanda menyatakan netral pada Perang Dunia I dan pada awal meletusnya Perang Dunia II tahun 1939, Belanda sekali lagi menyatakan diri sebagai negara netral, sekalipun begitu, tanggal 10 Mei 1940, Jerman menginvasi Belanda karena Jerman hendak mengantisipasi masuknya pasukan Inggris melalui laut dan Perancis melalui Ardennes.
Pada 21 Mei 1942, keluarga Münzer diwajibkan melapor ke kamp buruh kerja Jerman, namun Simcha mengelak dengan cara berpura-pura dirawat di Rumah Sakit untuk operasi Hernia. Memasuki September 1942 situasi semakin tidak jelas bagi keluarga Münzer sehingga memaksanya untuk segera menyembunyikan diri. Sekali lagi Simcha terus berusaha menghindar dan kali ini ia berpura-pura terlihat seperti hendak melakukan usaha bunuh diri agar bisa masuk ke Remarkkliniek, sebuah Rumah Sakit Jiwa di dekat kota Hague. Sementara Simcha berada di Rumah Sakit, Gitel menjual semua isi rumahnya dan bersiap untuk membawa pergi anak-anaknya. Dua anak perempuannya dititipkan ke seorang temannya yang juga tetangganya yang beragama Katolik yang siap membantu menyembunyikan mereka. Sedangkan si bungsu, Alfred, dititipkan ke seorang tetangga lainnya yang bernama Annie Madna. Gitel kemudian meninggalkan rumahnya untuk terakhir kalinya di bulan Oktober 1942 untuk bergabung bersama suaminya di Remarkkliniek dengan berpura-pura sebagai perawat yang merawat Simcha. Pada 26 Desember 1942, Remarkkliniek diserbu pasukan SS Nazi dan semua pegawai dan pasien Rumah Sakit tersebut dibawa oleh SS. Simcha dan Gitel untuk sementara waktu ditempatkan di sebuah penjara transit yang dibangun pada abad ke-17 yang juga satu kota dengan filsuf Yahudi terkenal, Benedict Spinoza. Pada 3 Januari 1943, keduanya digiring ke kamp Westerbork (Durchgangslager Westerbork), sebuah kamp transit bagi bagi Yahudi Belanda, Belgia, dan Italia yang hendak ditransfer ke kamp Nazi lainnya. Kamp ini berada di Hooghalen, 10 km utara kota Westerbork, timur laut Belanda. Dari kamp tersebut, keduanya kemudian ditransfer ke kamp Vught (Konzentrationslager Herzogenbusch), Belanda selatan, untuk dipekerjakan di perusahaan tabung radio Phillips, dan tinggal di sana hingga Maret 1944 ketika hampir semua kamp konsentrasi di Belanda sudah dikosongkan.
Kamp Westerbork dan Vught merupakan kamp transit yang digunakan untuk mempersiapkan pengiriman Yahudi Belanda dan Belgia untuk disebarkan ke kamp konsentrasi di Polandia yang selanjutnya dimusnahkan di sana. Pasca Perang Dunia II, kamp ini menjadi penjara bagi penjahat perang Jerman dan simpatisannya, kemudian menjadi penjara dengan keamanan tingkat tinggi pemerintah Belanda, Extra Beveiligde Inrichting (EBI). Lokasi ini pun dijadikan tempat domisili oleh sebagian besar pendatang Indonesia dari Maluku. Corrie dan Betsie ten Boom, anggota gerakan perlawanan Belanda, sempat ditahan di kamp ini pada tahun 1944 sebelum dikirim ke kamp Ravensbrück. Johan Cornelis Princen "Haji Princen", saat masih sebagai tentara Belanda, sempat ditahan di kamp ini, tahun 1948 ia kemudian membelot dengan membela TNI melawan Belanda, dan di akhir hidupnya ia menjadi muslim dan rajin memperjuangkan hak asasi di Indonesia.
Dari Vught, mereka dipulangkan kembali ke kamp Westerbork untuk dikumpulkan bersama-sama konvoi menuju kamp Auschwitz (Konzentrationslager Auschwitz). Setibanya di Auschwitz, Simcha dan Gitel berpisah. Simcha tetap tinggal di sana hingga dievakuasi bulan Januari 1945 ia dibawa ke Mauthausen dan dari sana ditransfer ke Gusen, Steyr dan terakhir ke kamp Ebensee (KZ-Gedenkstätte Ebensee) di mana ia dibebaskan. Dua bulan setelah perang berakhir, Simcha meninggal saat sedang menjalani perawatan di dekat sebuah biara, dan jasadnya dikuburkan di areal pemakaman di kamp Ebensee.
Nazi membangun kamp Ebensee untuk mempekerjakan tawanan Yahudi guna membangun terowongan bawah tanah yang akan difungsikan untuk mengevakuasi senjata misil V-2 dan Wasserfall Ferngelenkte Flakrakete, hasil pabrikasi Peenemünde. Hitler di kemudian hari mengkonversinya menjadi sebuah pabrik kendaraan tempur lapis baja sejak 6 Juli 1944.
Kamp Ravensbrück adalah kamp konsentrasi khusus wanita berada di dekat desa Ravensbrück, 90 km dari utara Berlin. Germaine Tillion dalam bukunya, Ravensbrück, mengungkapkan bahwa selain sebagai kamp konsentrasi khusus wanita, selama Agustus 1942-Agustus 1943, Ravensbrück pun menjadi kamp percobaan medik Nazi dan kebanyakan yang menjadi korbannya adalah tahanan wanita dari Polandia yang dipanggil dengan sebutan Króliki, Kanninchen, atau Lapins yang berarti kelinci percobaan. Percobaan ini dilakukan di klinik Hohenlychen oleh Prof. Karl Gebhardt. Umumnya wanita-wanita ini masih berusia muda bahkan anak-anak yang dipilih dari kelompok pelajar atau mahasiswa. Beberapa yang selamat dari hasil percobaan ini kemudian dieksekusi. Pasca pembebasan kamp ini, tercatat sekitar 74 wanita Polandia yang telah menjadi korban, 5 di antaranya meninggal saat sedang menjalani eksperimen, 6 wanita langsung dieksekusi masih dalam keadaan terluka sehabis eksperimen, sedangkan 63 sisanya berhasil selamat namun menderita secara permanen.
Gitel dibebaskan dari kamp Ravensbrück setelah Count Folke Bernadotte dari Palang Merah Swedia membuat kesepakatan dengan Heinrich Himmler. Gitel yang ikut diboyong ke Swedia, kemudian dirawat oleh keluarga Zohnmen di Göteborg (Gothenburg), Swedia. Bulan Agustus 1945, Gitel kemudian pulang ke Belanda, dan ia akhirnya mengetahui hanya Alfred Münzer yang masih selamat, sedangkan kedua putrinya, Eva dan Leana meninggal.
Berdasarkan keterangan dari Stiftung Brandenburgische Gedenkstätten, sekitar 7.500 tahanan wanita di kamp ini diboyong ke Swiss dan Swedia oleh Palang Merah Swiss dan Swedia. Sedangkan sisanya yang masih tertinggal sekitar 10.000 wanita dibebaskan oleh Tentara Merah Rusia yang menguasai tempat ini pada 30 April 1945. 3.000 wanita di antaranya diketahui dalam keadaan sakit.
Diketahui kemudian setelah mengetahui Simcha dan Gitel dideportasi ke kamp konsentrasi, keluarga yang menerima titipan kedua putrinya tersebut menjadi berselisih, akhirnya sang suami melaporkan istrinya sendiri berikut kedua putri Gitel ke SS. Ketiganya kemudian ditangkap dan dideportasi ke kamp Westerbork. Pada tanggal 8 Pebruari 1944, ketiganya terpisah, kedua putri Gitel ditransfer ke kamp Auschwitz dan meninggal di sana tiga hari kemudian.
"Saat itu saya menangis karena tidak senang telah dibangunkan dari tidur, hingga saya berpindah-pindah pangkuan dari satu orang ke orang lain. Saya masih mengingat dengan jelas ketika saya menolak untuk duduk dipangkuan seorang wanita asing, yang tentunya itu adalah ibu kandung saya. Butuh waktu lama bagi saya untuk bisa terbiasa dengan ibunya..."
13 tahun kemudian, Gitel dan Alfred tinggal bersama di Belanda dan Belgia. Di sana Gitel mengirimkan Alfred ke sekolah agama (Yeshiva) di Aix-les-Bains, Perancis. Saat Alfred berusia 6 tahun, Gitel membuka usaha kosmetik di Belanda, yang kemudian pada tahun 1952, mereka pindah ke Belgia. Gitel sempat dinikahi oleh pria Yahudi dari Brussel, Belgia, yang lebih tua darinya namun tidak bertahan lama. Sejak itu Gitel dan Alfred berimigrasi ke Amerika Serikat mulai tahun 1958. Di sana Alfred mendalami ilmu kedokteran, dan akhirnya menjadi dokter spesialis Pulmonologis di Washington Adventist Hospital, Takoma Park, Washington D.C.
Penghargaan Garden of the Righteous ini diinisiasi pertama kalinya oleh Rabbi Jeffrey A. Wohlberg di Washington D.C. pada tahun 1992 untuk mengenang jasa-jasa kalangan non-Yahudi yang telah mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Yahudi dari holocaust.
- United States Holocaust Memorial Museum - www.ushmm.org
- Yad Vashem The Holocaust Martyrs' and Heroes' Remembrance Authority - www1.yadvashem.org
- Wikipedia - en.wikipedia.org
- Stiftung Brandenburgische Gedenkstätten - www.ravensbrueck.de
- Jarek Gajewski - "Ravensbrück"
- Richard J. Green - "The Chemistry of Auschwitz"
- Adas Israel Congregation - www.adasisrael.org
- Dutch Jazz Orchestra - dutchjazz.nl