Rencana pemberian penghargaan World Statesman Award kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanggal 30 Mei mendatang menimbulkan beragam reaksi.Penghargaan ini diberikan oleh Appeal for Conscience Foundation (ACF), organisasi internasional yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi dan dialog antar kepercayaan yang bermarkas di New York.
Kalangan yang kontra beranggapan bahwa Presiden SBY belum layak untuk menerima penghargaan tersebut sebab semasa pemerintahannya banyak terjadi konflik antar umat beragama dan antar kelompok dalam satu agama. Negara juga dinilai tak mampu melindungi kelompok minoritas dalam menjalankan kepercayaannya.
Berbagai reaksi bermunculan di media memprotes rencana pemberian penghargaan tersebut dan meminta agar AFC untuk membatalkannya. Salah satunya adalah rohaniwan Romo Franz Magnis Suseno yang menyampaikan protes langsung ke AFC atas rencana pemberian penghargaan tersebut. Franz Magnis keberatan jika Presiden SBY disebut berjasa memajukan toleransi sebab, menurutnya hampir 10 tahun toleransi keagamaan di Indonesia berkurang.
Sementara pihak yang pro menilai penghargaan tersebut sebagai bentuk apresiasi dunia internasional terhadap keberhasilan memelihara keurukunan dan toleransi antar umat beragama di Indonesia. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bahkan menilai penghargaan tersebut sebagai penghargaan bagi bangsa Indonesia, bukan perorangan.
Menurutnya, bangsa Indonesia memiliki budaya toleransi yang sudah ada sejak jaman nenek moyang. Bahkan menurut Pak JK, Indonesia itu selalu damai. Kalau pun muncul sejumlah konflik, itu hanya bagian kecil. Konflik itu tidak hanya di Indonesia tapi semua negara di dunia mengalaminya.
Hal senada juga disampaikan oleh Imam Besar Masjid New York, Ust. Shamsi Ali yang menganggap anugerah tersebut adalah kebanggaan bagi Indonesia. Dalam surat terbukanya Imam Ali menganggap penghargaan tersebut tidak diberikan kepada pribadi Presiden SBY, tetapi penghargaan ini diberikan kepada negara dan bangsa Indonesia.
Menurut Imam Shamsi, penghargaan itu adalah pelipur lara dan bahkan kebanggan bahwa ternyata ada perubahan yang terjadi di mata dunia. Bahwa dunia semakin mengakui negara Indonesia sedang berjuang untuk menjadi lebih baik, termasuk dalam tatanan kehidupan antar umat beragama.
Dan yang terbaru adalah statemen Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal dalam pernyataan tertulisnya yang dimuat di beberapa media, bahwa penghargaan tersebut bukanlah sesuatu yang luar biasa karena ini merupakan kesekian kalinya Presiden SBY menerima penghargaan internasional.
Dino menambahkan, penghargaan World Statesman Award dari ACF menjadi kredit bagi bangsa Indonesia. Menurutnya ada beberapa faktor yang membuat Indonesia semakin dilirik bangsa-bangsa lain. Pertama, Indonesia kini mempunyai status yang langka sebagai negara demokrasi yang mapan dan stabil. Kedua, Indonesia kini mempunyai rekor hak asasi manusia yang jauh berbeda dari era sebelumnya. Dan ketiga, Indonesia kini dipandang sebagai pelopor perdamaian.
Dibalik semua polemik pro dan kontra tersebut, sebagai warga negara yang baik sepatutnya bangga memperoleh pengakuan internasional atas kerukunan dan toleransi di negara kita. Saya pribadi sebagai orang daerah yang jauh dari ibu kota sangat merasakan toleransi tersebut, baik antar sesama pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama lain.
Bagi saya, di sini tak perlu mempermasalahkan mana kelompok minoritas dan mayoritas sebab semuanya memiliki kesadaran yang tinggi untuk saling menghormati kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Umat Kristiani dapat menjalankan ibadahnya dengan aman dan tenang. Satu hal yang menarik, hampir semua tenaga pengamanan/Satpam di beberapa Gereja dan Klenteng di Probolinggo justru orang Islam. Meski demikian mereka tetap profesional dan dengan kesadaran penuh ikut menjaga keamanan dan kenyamanan peribadatan saudara-saudaranya meski tak seiman.
Contoh konkrit lainnya adalah toleransi antar umat beragama yang ditunjukkan oleh masyarakat Tengger yang hidup di sekitar Gunung Bromo. Meskipun di Bromo mayoritas Hindu, tapi mereka sangat menghormati penganut agama lain yang berkunjung kesana. Demikian pula jika ada masyarakat Tengger yang memutuskan untuk menjadi menjadi Muallaf, keputusan itu akan sangat dihargai dan dihormati. Dan terbukti masyarakat disana dapat hidup berdampingan dengan damai.
Contoh toleransi sesama umat Islam dapat dilihat saat penentuan 1 Syawal yang beberapa kali tidak jatuh bersamaan. Namun masing-masing tetap menghormati perbedaan tersebut. Yang melaksanakan Sholat Ied lebih awal dapat beribadah dengan khusu’. Demikian pula sebaliknya, mereka yang berlebaran lebih dulu, menghormati saudaranya yang masih akan sholat Ied keesokan harinya.
Itu semua hanya beberapa contoh kecil bahwa sebenarnya toleransi antar umat dan antar agama di negeri ini sangat dijunjung tinggi dan pada hakekatnya kebiasaan ini memang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita. Meskipun memang tak dapat dipungkiri di beberapa sudut negeri ini masih saja terdiri gesekan dan benturan antar kelompok. Namun jika dilihat secara nasional, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan jumlah rakyat Indonesia yang justru dapat hidup berdampingan dengan damai.
Entah disadari atau tidak, kebebasan berekspresi saat ini jauh lebih dijamin daripada saat era orde baru dulu. Coba saja di era orde baru, protes kebijakan pemerintah bahkan salah sebut simbol negara saja resikonya bisa fatal, bisa-bisa belum bicara banyak saja sudah terbungkam lebih dulu. Tapi kini? Siapapun diberi kesempatan dan dijamin kebebasannya untuk berpendapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Dan rencana pemberian penghargaan WSA kepada Presiden SBY tersebut patut diapresiasi. Sangat tidak sopan rasanyajika kita telah dihargai namun tidak dapat menghargai pemberian tersebut dengan malah menolaknya. Presiden SBY bukan orang pertama yang menerima penghargaan sejenis ini.
Jika ada yang meragukan kredibilitas dan niat baik AFC, maka kredibilitas penerima penghargaan sebelumnya juga patut dipertanyakan, sebut saja nama-nama terkenal seperti PM Kanada Jean Chretien, Presiden Spanyol Jose Mara Aznar, PM Australia John Howard, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, PM Inggris Gordon Brown, Presiden Korsel Lee Myung-bak dan PM Kanada Stephen Harper.
Penghargaan tersebut hendaknya dilihat sebagai prestasi bangsa Indonesia dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapinya. Jangan anggap ini sebagai olok-olok kepada pemerintah, khususnya Presiden SBY. Karena pihak pemberi adalah lembaga yang diakui secara internasional dan para penerima terdahulu adalah tokoh-tokoh penting internasional yang tak perlu diragukan kredibilitasnya.
Penghargaan ini hendaknya bisa menjadi motivasi bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa toleransi dan dialog antar umat beragama memang dijamin dan berkembang dengan pesat di negeri tercinta ini. Tentunya pemerintah harus selalu dapat menjamin keamanan dengan memberikan perlindungan baik secara fisik maupun regulasi bagi kelompok minoritas.
Memang, saat ini kita masih terus berbenah memperbaiki diri di tengah carut marutnya permasalahan di dalam negeri. Namun dengan kesadaran dan usaha bersama dilandasi semangat toleransi yang tinggi kita akan terus melangkah ke depan mewujudkan Indonesia yang lebih baik lagi dan semakin diperhitungkan di kancah internasional.