Pada zaman kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, terutama abad ke-9 hingga ke-11, pajak merupakan sumber penghasilan utama kerajaan. Banyak bendungan dibangun untuk kemakmuran rakyat dan banyak bangunan kuno (candi) didirikan untuk kesejahteraan rakyat. Pemungutan pajak mampu membangun kerajaan hingga berabad-abad. Â Â
Saat itu dikenal berjenis-jenis pajak, antara lain pajak tanah, pajak hasil bumi, pajak penjualan, dan pajak atas usaha kerajinan. Semua itu disebut dengan istilah drawya haji, yang secara harfiah berarti ‘milik raja’.
Beberapa tahun belakangan ini istilah penggelapan pajak dan sejenisnya, termasuk pengemplangan pajak, sudah demikian populer. Bahkan semakin terangkat setelah kasus Gayus terungkap. Ternyata, kasus pajak bukan hanya terjadi pada masa kini. Pada masa lalu berbagai kasus pajak juga banyak disebut-sebut oleh prasasti kuno.
Keterangan mengenai pajak umumnya dijumpai di dalam bagian prasasti yang menyebutkan status daerah sima. Sima adalah tanah yang dicagarkan karena merupakan anugerah dari raja.
Selain terhadap harta benda, pada zaman dulu juga dikenal ‘pajak penghasilan’ (PPn). PPn dikenakan kepada orang-orang asing dan orang-orang yang mempunyai profesi tertentu. Dalam prasasti mereka disebut dengan istilah wargga kilalang. Uniknya, istilah wargga kilalang hanya dijumpai di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Dharmmawangsa Airlangga.
Menurut prasasti, yang termasuk orang asing antara lain orang-orang Kalingga, Dravida, Campa, Kamboja, Pegu, dan Karnataka. Sementara yang dimaksud dengan ‘orang yang mempunyai profesi tertentu’, misalnya pemimpin pasukan, tukang gendang, penari wayang, dalang, penari topeng, dan pelawak. Profesi yang belum teridentifikasi adalah mambang, hawang, hunjeman, warahan, tarimba, salaran,danwargga ri jro. Demikian sebagian informasi dari prasasti-prasasti Wurudu Kidul (922 Masehi), Panggumulan (902 M), Poh (905 M), dan Wukajana (tarikhnya tidak terbaca) (Boechari, 1981:68).
Selain prasasti, pemungutan pajak juga disebutkan oleh Berita Cina. Berita Cina adalah sebutan untuk laporan perjalanan yang ditulis oleh pengelana-pengelana Cina, untuk setiap dinasti yang berbeda. Dikenal juga sebagai Kronik Cina. Dikatakan bahwa kerajaan di Jawa mengenakan pajak hasil bumi dan pajak penjualan, terutama untuk padi atau beras.
Di dalam berita dinasti Sung disebutkan bahwa penduduk harus membayar 10% dari hasil tanahnya sebagai pajak. Sementara untuk setiap 2,2 pikul padi yang dijual, dikenakan pajak penjualan 1 ch’ien emas. Berita ini klop dengan informasi dari Prasasti Palepangan (906 M) yang menyatakan bahwa setiap tampah tanah dikenakan pajak 6 dharana dan Prasasti Kamalagyan (1037 M) yang menyebutkan bahwa setiap 6 tampah tanah harus membayar pajak 6 su 7 ma4 ku emas. Hanya besaran luas tanah atau jumlah hasil belum diketahui.
Tentang penanganan pajak dikatakan sudah dikelola dengan baik. Menurut berita Cina dari masa dinasti Sung, ketika itu terdapat lebih dari 300 pejabat sipil. Mereka dapat dipersamakan dengan siu-tsai di Cina. Tugas mereka adalah mengadministrasikan pajak-pajak yang masuk (Groeneveldt, 1960).
Manipulasi