Â
                                                  Â
Beragam persoalan di dunia ini menyebabkan rasa kemanusiaan kita hilang. Malah, kala berinteraksi nafsu hewani jadi garda terdepan. Terkadang, lebih sadis dari binatang buas.Â
Tak aneh, makhluk bernama manusia ini sanggup meminum aspal, memakan hutan, bahkan "menginjak-injak" kitab suci yang diyakininya. Itulah bukti nyata hiangnya rasa welas asih di antara kita.
Kita, sebagai bangsa nusantara sejatinya sedari dulu sudah mewarisi kearifan lokal untuk menghadapi dinamika di dunia. Dunia ini panggung sandiwara, seloroh Ahmad Albar, rocker jadul saudaranya biduan Camelia Malik.Â
Ya, karena sandiwara, makanya dan mestinya bias diakali seberat apapun masalah yang kita hadapi. Salah satu kearifan lokal di nusantara adalah kearifan Sunda. Â
Sebab urang Sunda mengedepankan kasih sayang. Butuh cinta antar manusia. Kata Bung Karno mah, antara Sunda dan cinta, ibarat "Satu zat satu urat". Maka dari itu, bergaul dan bergumullah atas nama cinta.
Sunda adalah cinta sejatinya bukan bualan yang memabukkan sebagai upaya untuk gengsi gagah-gagahan. Ada banyak alasan yang layak diapungkan ke permukaan. Ada banyak jawaban yang bisa diajukan pada masyarakat keseluruhan. Namun, kesemua itu berhulu dan bermuara dari sebuah kearifan.
Kearifan budaya Sunda dapat dinikmati dan dipahami dari pelbagai jenis seni, cerita rakyat, pakaian, senjata, peralatan rumah tangga, atau dari babasan dan paribasa Sunda yang menyebar dan mengakar dalam kelisanan dan kepustakaan.
Kepustakaan Sunda memang masih terbilang kurang untuk dikonsumsi oleh sebagian besar urang Sunda yang umumnya mendiami propinsi Jawa Barat (Jabar). Disamping itu, kepustakaan Sunda juga sepi dari yang mempelajari, mencintai, dan melarapkan dalam kehidupan keseharian.
Keseharian masyarakat Jabar ayeuna  banyak yang bertolak belakang dengan kearifan Sunda yang sangat menjungjung tinggi cinta kasih manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.