Dipindahkannya para pengungsi pencari suaka ke Eks Gedung Kodim yang terletak di Jakarta Barat, tidak lantas memupuskan harapan para pengungsi untuk menemukan negara yang yang akan ditempatinya. Nematullah Azizi (22) lelaki yang berasal dari Afghanistan ini mengaku tidak putus asa, meski sudah hampir dua bulan berada di Indonesia. Ia mengatakan, semangat tersebut didapat dari Ibunya, agar mencari celah positif dalam setiap kejadian yang mereka alami.
"Kemarin sempat hilang harapan. Tapi kata Ibu saya, semua akan baik-baik saja asal kita percaya dan sabar," tuturnya, dengan menggunakan bahasa Inggris tentunya.
Pindahnya Aziz bersama keluarga, berawal dari kekhawatiran sang Ibunda atas konflik yang terjadi di Afghanistan, nantinya berpengaruh pada psikis adiknya. Akhirnya ia memutuskan mendatangi kantor imigrasi, kemudian ada yang meneleponnya. Setelah itu berlanjut pada tahap penyerahan dokumen dan pemberangkatan, hingga sampailah ia di Indonesia.
"Misalnya di pos kesehatan, kadang saya memahami bahasa mereka (petugas kesehatan), bilang "diminum tiga kali sehari". Terus saya lihat keterangan di obatnya. Dari situ pelan-pelan saya menyesuaikan bahasa di sini. Kadang mereka (petugas) minta tolong ke saya untuk menyampaikan ke rekan saya (orang Afghanistan) yang berobat," akunya.
"Perang menyebabkan saya tidak bisa berada di sana. Saya datang ke sini sendiri. Ada keluarga saya di sana, ayah, ibu, satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Mereka juga tidak aman. Saya tidak tahu kenapa mereka tidak mau ikut kami ke Indonesia," katanya.
Ia mengungkapkan, di Indonesia ia hanya transit saja. Meski transit, waktu dua tahun bukanlah sebentar baginya. Bersama Ibu, adik, dan kakak laki-lakinya, Sukriya sempat tinggal di Pekanbaru selama dua tahun. Ia mengaku, selama hidup di sana, ia menempati sebuah kontrakan yang ia bayar sebulan Rp700 ribu. Untuk membayar kontrakan dan biaya hidup, ia dan keluarganya hanya bermodal kiriman uang dari saudaranya yang berada di Afghanistan.
Sudah dua tahun lebih tinggal di Indonesia, Sukriya pun mulai menguasai bahasa Indonesia, meski tidak sempurna. "Sikit-sikit. Tidak banyak. Mau tidak mau saya harus belajar agar bisa berkomunikasi," terangnya.