Mohon tunggu...
Diaz Adil
Diaz Adil Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa Minoritas Tidak Memiliki Hak Sebagai Seorang Pemimpin?

26 April 2017   01:32 Diperbarui: 26 April 2017   11:00 1914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimana rasanya terlahir menjadi seorang yang minoritas dalam suatu kelompok masyarakat, mengapa rasa perbedaan tersebut sangat berdampak pada Politik di Indonesia dan mengapa pemimpin dari suatu daerah yang memiliki suku, ras atau agama tertentu yang mendominasi harus lah menjadi seorang pemimpin dari daerah tersebut? Apakah adu program demi kesejahteraan masyarakat sudah tidak diutamakan lagi? Apakah memperjuangkan hak masyarakat kalah pentingnya dengan persamaan ras, suku dan agama? Apakah keberagaman di Indonesia adalah suatu kesalahan? Hal tersebut terlihat jelas dalam pilkada DKI Jakarta kemarin, dimana seorang yang memperjuangkan hak rakyat dimana dia berani transparan, berani melawan hal yang menyimpang, berbicara tentang fakta dan membantu masyarakat kecil yang tinggal dibantaran sungai, harus mengalami kekalahan dalam pemilu hanya karena perbedaan ras dan agama dari hal ini.

Kita sebagai seorang manusia tentu tidak dapat menentukan kita akan lahir di keluarga beragama apa, di daerah mana kita dilahirkan atau pun rasa pa yang dimiliki oleh keluarga kita. Mengapa harus ada yang namanya minoritas dan mayoritas, padahal kita sudah lama mengenal bhineka tunggal ika,kenapa suatu daerah yang memiliki ras agama tertentu harus memiliki pemimpin dari ras yang mendominasi. Keberagaman kalau menurut pandangan saya adalah sesuatu kelebihan dari Indonesia asalkan kita benar mau toleran terhadap keberagaman tersebut, dengan rasa toleran tersebut akan dapat menimbulkan pemerintahan yang bersih karena apa, karena seorang yang sungguh-sungguh ingin menyejahterakan rakyat nya akan melakukan inovasi-inovasi tanpa menyerang melalui hal yang berbau rasisme. Dari hal tersebut saya ingin mengutarakan keresahan yang saya rasakan pada pandangan saya terhadap hasil pilkada DKI Jakarta.

Kata ‘Pemimpin Kafir’ pastinya sudah sangat tidak asing pada telinga warga Jakarta, hampir di setiap sudut kota ada tulisan yang menghimbau dan bahkan memaksa seorang yang beragama islam harus lah memilih pemimpin seorang muslim dengan alasan apabila memilih seorang yang berbeda agamanya akan menjadi kafir, bahkan bukan hanya itu akhir-akhir ini juga kita sering mendengar bahwa seorang muslim yang memilih pemimpin diluar muslim tidak akan di sholatkan jenazah nya. Intimidasi seperti ini membuat banyak pemilih yang sesungguhnya sudah tau bagaimana keberhasilan dari salah satu paslon dalam membenahi kota Jakarta dan akhir nya harus berpikir ulang karena hal keagamaan itu sendiri. Mungkin dari satu sisi sudah banyak masyarakat yang tidak terlalu terpengaruh akan hal tersebut dan akhirnya berdampak pada putaran pertama paslon tersebut masih unggul, tetapi memang harus diakui dan diacungi jempol bahwa strategi yang di terapkan oleh paslon yang mengandalkan program DP 0% tersebut sangat baik, dimana saat mereka melihat bahwa menyentil melalui hal mengkafirkan itu tidak terlalu berhasil, akhirnya mereka memanfaatkan program-program yang sangat bagus dari lawan nya tetapi di tambahkan plus-plus. Yang dengan kata lain warga tidak usah khawatir program yang sudah berjalan akan tetap ada dan bahkan ditambahkan manfaatnya, ditambah lagi kalau memilih pasangan DP 0% tidak dianggap kafir.

Ahok sebagai seorang petahana sangat dikenal sebagai orang yang tegas, galak, dan sering melakukan penggusuran, dari hal itu calon lain nya yaitu anies mengambil simpati dari warga Jakarta terutama masyarakat menengah kebawah dengan cara tidak ingin melakukan penggusuran atau memberikan hunian layak tanpa melakukan penggusuran. Anies menekankan bahwa ahok membuat warga Jakarta terutama warga dengan perekonomian menengah kebawah menderita, dikarenakan penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah di masa kepemimpinan ahok. Anies berjanji tidak akan melakukan penggusuran tetapi ia akan melakukan program penataan kembali tanpa penggusuran. Kalau ingin membandingkan program Ahok dan Djarot hanya kalah karena masyarakat tidak bisa memanfaatkan uang secara bebas. Hal inilah sesungguhnya program Anies-Sandi sangat menarik bagi mereka yang dibawah kemiskinan langsung dapat uang tunai. Anies – Sandi lauh lebih cerdik dalam hal mencari kelemahan masyarakat dibawah kemiskinan, serta kemampuan team sukses merayu dengan janji-janji yang hampir semuanya menyangkut uang bantuan secara tunai.

Calon petahana menjadi sebuah blunder bagi pasangan ahok-djarot karena mereka adalah petahana dan lawan mereka menggunakan semua hal yang sudah mereka lakukan dalam masa jabatan mereka sebelumnya sebagai hal untuk menyerang paslon ahok-djarot, pertamatidak ditutupnya alexis karena ahok tidak berani dan tidak tegas dalam menutup alexis karena alexis adalah pusat hiburan dan pengedaran narkoba juga anies menambahkan ahok tidak berani merusak kenyamanan yang dimiliki lapisan menengah ke atas, keduapenggusuran yang melanggar hukum di daerah bukit duri, isu ini diangkat anies untuk menarik simpati warga Jakarta terutama masyarakat menengah kebawah untuk memilihnya dengan anggapan warga miskin punya hak dan pengakuan yang lebih sedikit daripada kelas menengah ke atas. Ketigamenghentikan reklamasi dimana reklamasi dalam anggapan anies-sandi hanya menyengsarakan nelayan. Keempatmemanfaatkan keberhasilan dari KJP dan KJS dengan menambahkan plus pada program ahok tersebut, dimana Anies-Sandi berjanji untuk memperluas manfaat Kartu Jakarta Pintar dalam bentuk Kartu Jakarta Pintar Plus untuk semua anak usia sekolah (6-21 tahun). Jadi, tidak hanya anak yang sekolah yang mendapatkan layanan ini. KJP Plus juga dapat digunakan untuk Kelompok Belajar Paket A, B dan C, pendidikan madrasah, pondok pesantren dan kursus keterampilan serta dilengkapi dengan bantuan tunai untuk keluarga tidak mampu. Untuk program KJS Plus,  Anies-Sandi memperluas cakupan KJS yang ditanggung pemerintah kepada tokoh-tokoh agama, yaitu guru mengaji, pengajar sekolah minggu, penjaga rumah ibadah, khatib, penceramah, dan seluruh pemuka agama lainnya.

Hal tersebut sejujurnya adalah hal yang cerdas dan sah-sah saja dilakukan oleh seorang politikus, dimana permainan janji-janji manis untuk mengambil simpati masyarakat untuk memilihnya. Tetapi bukankah kita masyarakat Indonesia sudah sering diberikan janji-janji manis tanpa sebuah implementasi? Apa yang sebenarnya membuat warga Jakarta mau dan berani mempertaruhkan nasib mereka dalam 5 tahun kedepan kepada seorang pemimpin yang belom teruji, apakah tidak ada rasa takut dalam diri mereka apabila nantinya janji itu tidak dilaksanakan dan hanya menjadi bualan belaka. Tidak kah terasa Jakarta sudah jauh lebih baik ketimbang pemimpin-pemimpin sebelumnya, bukan kah dampak dari penggusuran sudah sangat terasa dengan sangat berkurang nya banjir di daerah ibukota, dan bukan kah sudah seharusnya suatu daerah Ibukota tidak memiliki daerah pemukiman kumuh, bukan kah lebih enak tinggal dan hidup di sebuah rusun ketimbang di pinggir sungai yang kotor. Kesimpulan menurut pandangan keresahan yang sudah saya utarakan di atas adalah bahwa masyarakat Indonesia (teruntuk warga Jakarta) masih lebih memperhitungkan sebuah materi tanpa peduli bahwa hal tersebut merusak mental warga nya karena tidak mendidik warganya untuk berusaha sendiri, tapi justru warga nya hanya dimanjakan dengan bantuan uang tunai.

Sesungguhnya bukan hanya Jakarta saja yang mengalami hal seperti demikian, dimana warga minoritas tidak mendapatkan hak mereka untuk menjadi seorang pemimpin, dan juga bukan hanya salah satu agama saja yang memberikan tekanan seperti hal diatas tetapi dalam pemerintahan di kota bali juga mengalami hal yang serupa tetapi bedanya adalah agama hindu yang menjadi mayoritas memaksa warganya untuk memilih pemimpin beragama hindu, kalau hal seperti ini terus menerus membudaya dalam masyarakat kita yang terjadi adalah perpecahan dan hilangnya keberagaman Indonesia, dan sia-sia lah usaha perjuangan pahlawan terdahulu yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman tetapi tetap satu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun