Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Panca Dharma Tamansiswa, Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

3 Mei 2017   16:32 Diperbarui: 25 September 2017   11:45 22299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : Pilar-pilar Panca Dharma Ki Hadjar http://asiswanto.net/?page_id=584

Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Penetapan tanggal #Hardiknas persis pada tanggal lahir tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Pahlawan Nasional yang bernama asli Raden Mas Soewardi Suryaningrat ini, meletakkan dasar pendidikan nasional bagi kaum pribumi sejak masa kolonial Belanda. Sayangnya, peringatan tahunan ini tak banyak menggali konsep pendidikan yang pernah beliau ajarkan.

Semboyan beliau yang terkenal adalah tiga serangkai, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso,Tut wuri Handayani. Semboyan ini masih relevan dijadikan tuntunan bagaimana guru mengambil peran bagi murid-muridnya. Ketika di depan (Ing Ngarso), guru adalah teladan. Ia digugu (dihormati) dan ditiru. Maka guru bagaikan pemimpin, memberi contoh dalam perilaku, memperhatikan dan mengayomi murid-muridnya.  Saat berada di tengah (ing madyo), ia membangun, menggugah semangat. Sebagaimana Karso bisa diartikan kemauan. Kala berada di belakang, ia memberi dukungan.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, guru adalah pamong. Dalam sistem pendidikan yang ia bangun di Perguruan Tamansiswa, ada tiga unsur yang perlu selaras dalam kolaborasi mendidik para murid, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat. Ketidakselarasan antara nilai-nilai ideal yang diajarkan di sekolah oleh guru, dengan apa yang murid-murid sekolah dapatkan baik di keluarga dan masyarakat, dapat membawa pesan-pesan kontradiktif dalam benak mereka. Anak menghadapi kebingungan nilai-nilai yang harus dipilih. Orang tua merasa berupaya mendidik anak dengan prinsip kejujuran namun bertentangan dengan persepsi mencontek asal memperoleh nilai bagus di sekolah yang dibiarkan saja, adalah contoh kecil pertentangan itu.

Bangsa ini terus berjuang meningkatkan harkat martabat manusianya. Dan pendidikan adalah jalan yang ditempuh. Panjang, karena hasilnya tidak bisa seusia satu, dua generasi. Tiap Hardiknas kita kembali menoleh pada evaluasi apa yang kita titipkan pada generasi. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Demikian potongan bait lagu Indonesia Raya kita nyanyikan dalam kesempatan upacara peringatan hari nasional. Penyebutan jiwa mendahului badan, adalah hasil permenungan bahwa jiwa mendapat posisi pertama untuk dibangun utuh melalui pendidikan.  Bersamaan dengan itu, badan ikut dibangun. Badan yang berarti jasmani generasi yang sehat dan kuat untuk membangun bangsa.

Membangun jiwa yang utuh belum menjadi landasan utama output pendidikan kita. Dengan materi yang padat, sistem evaluasi yang menekankan pada kemampuan kognisi sebatas menghapal dan mengingat, kita memaksakan otak anak-anak kita selayaknya chip ultra canggih yang bisa menyimpan data apa saja. 

Ekses dari pemaksaan ini adalah ekspresi-ekspresi kebutuhan pengakuan eksistensi diri sebagian remaja, sebut saja skip challenge. Ketika tantangan-tantangan di arena kognisi macam lomba karya ilmiah, olimpiade sains tak menjadi domain mereka yang merasa “tidak pintar”. Anak-anak yang aktif di ekstrakurikuler musik, olahraga bahkan paskibra sering dianggap mereka yang senang mengabaikan pelajarannya. Ada ketimpangan apresiasi bagi anak-anak dengan bakat nonakademis, terlebih pengukuran kecerdasan masih menjadi tolok ukur utama keberhasilan proses pendidikan.

Dalam ceramahnya tokoh pendidikan Arif Rahman mengingatkan guru dan orang tua untuk memperhatikan siswa dan anak-anak pertengahan, artinya mereka yang kemampuan akademisnya biasa saja, alias rata-rata. Mereka ini sering terabaikan dalam strata sosial komunitas pendidikan formal di sekolah. Jarang dan hampir tidak pernah menunjukkan prestasi istimewa, baik di bidang akademik, maupun olahraga, seni atau ekstrakurikuler. Kita baru terhenyak saat anak-anak yang sehari-hari tampil baik perilakunya, terlibat kasus kenakalan remaja.

Ide-ide mengatasi berbagai masalah pendidikan terus muncul. Kita berusaha mencari solusi pendidikan luar. Mencoba kurikulum ala Amerika, dan melirik model pendidikan Finlandia. Tulisan ini seperti judul di atas menawarkan alternatif konsep pendidikan yang digali dari kearifan bangsa, warisan pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara.

Sebelum berkenalan dengan pola pendidikan Tamansiswa, kita dapat memulai dari perubahan nama beliau dengan gelar bangsawan Raden Mas, menjadi hanya dengan panggilan Ki. Ki serupa panggilan Pak untuk guru saat itu, sedangkan Ibu Guru biasa disapa dengan Nyi. Perubahan ini merupakan simbol bagi pendidikan yang mengajarkan prinsip egalitarian antara bangsawan dan rakyat biasa. Demikian pula mengganti blangkon dengan peci yang melambangkan nasionalisme.

Pendidikan di tanah Jawa pada masa penjajahan Belanda pada saat itu dijalankan secara tidak formal. Mereka yang ingin belajar pada seseorang yang dipandang berilmu akan Meguru, atau Nyantrik. Murid yang nyantrik akan tinggal bersama seorang yang dianggap memiliki keahlian khusus dalam komunitas. Jumlah mereka yang nyantrik ini bisa mencapai beberapa orang dengan minat yang sama. Guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga mengasuh dan membina. Guru adalah pamong bagi murid-murid yang berguru padanya. _(Dari sini kemudian asal kata santri bermula. Meski santri kini identik dengan murid yang tinggal di asrama, didampingi guru-guru pengasuh pondok pesantren. Kebersamaan ini membuat santri mempelajari ilmu-ilmu agama Islam serta seluruh perilaku sehari-hari ustadz dan ustadzahnya. Tradisi belajar seperti ini juga diadaptasi dalam pendidikan-pendidikan modern berasrama. Sebutan pamong juga dipakai bagi pangasuh dan pengajar di SMA Taruna Nusantara Magelang)_.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun