"Baru saja kemarin kejadian di ujung jembatan sana, abang kan yang pakai mobil putih..?" jawab anggota Brimob yang berjaga saat saya bertanya tentang keamanan daerah ini. Dalam hati saya, pihak keamanan ini seperti anak kecil membuat istana pasir yakni dengan membuat benteng dari tumpukan batuan kali. Benteng ini bukan sembarang benteng, kerena sebagai tameng terakhir dari serangan teroris yang mengancam setiap saat. Walau hanya dari tumpukan batuan kali, setidaknya bisa menjadi pelindung manakala konflik setiap saat bisa terjadi.
Sehari sebelumnya saya sempat dicegat oleh petugas keamanan dan hendak ditanyakan apa tujuannya disini. Melihat peralatan medis, wajah mereka yang galak mendadak lunak. Mereka paham dengan kendaraan dinas berplat merah dan sarung tangan karet yang kami kenakan. Dalam pembicaraan dibawah naungan tajuk Theobroma kakao jika ada yang mengaku benar-benar takut dengan jarum suntik dan darah, walau biasa menghadapi teroris bersenjata. Ternyata satu kardus jarum suntik adalah teror sebenarnya buat salah satu anggota. "kami tidak diperiksa kan mas...? ah aman kalau begitu" katanya.
Masih dibawah pohon yang sama dan entah dari mana kami mulai bercerita. Ternyata benang merah itu mudah dicari, sebab begitu saya menceritakan adik saya juga anggota Brimob mereka langsung bertanya tentang angkatan. Usut punya usut ternyata adik saya 1 tingkat dibawah mereka. "Beruntung adikmu mas, usai pendidikan mendapat jatah pengamanan ibu kota, angkatan kita dapatnya pelosok-pelosok Indonesia" kata salah satu mereka sambil tertekeh tertawa.
Alkisah mereka yang alumni Bintara kini tinggal menanti masa depannya. Mereka suatu saat nanti akan menjadi bintara tinggi dengan pangkat terakhir Aiptu atau bahasa meraka mengatkan kelelawar bersayap dua. Mereka berangan kalau bisa nanti ditempatkan di Polsek di kampung mereka saat menjelang pensiun nantinya. Walau nanti di polsek dipimpin oleh mereka yang berpangkat lebih tinggi dan masih muda, tetap kita menang aura.
Kisah-kisah petugas keamanan memang tiada habisnya. Sembari mereka bercerita saya melihat dahan-dahan pohon cokelat terdapat beberapa ponsel bergelantungan. Usut punya usut ternyata mereka sedang memancing sinyal seluler. Sehari saja bisa berkirim dan menerima pesan singkat, adalah sebuah berkat yang luar biasa. Jika ingin mendapatkan sinyal yang bagus harus berjalan kaki ke ujung kampung. Bisa saja dapat sinyal bagus, kalau apes bisa mampus berhadapan dengan gerombolan pengacau, kata mereka sambil melirik ponselnya barangkali ada pesan masuk.
Sangat kontras jika melihat para aparat negara ini jika dibandingkan dengan daerah yang tidak penuh dengan gejolak keamanan. Di sini saya tak melihat Polisi bertubuh tambun, bermalas-malasan, tiduran atau sekedar melepas lelah. Mereka walau santai, pasti tak akan jauh dari senapan dan mata yang selalu liar mengawasi dan telinga yang bak radar menangkap suara sekecil apapun. Letusan petasan anak-anak saat lebaran kadang membuat konsetrasi mereka buyar, karena harus pintar mengidentifikasi sumber suara, terlebih dengan daerah yang dirasa kurang aman. Sungguh saya baru merasakan inilah aparat yang tak hanya penegak hukum, tetapi pengayom dan pelindung masyarakat.
Hampir saja saya melupakan tujuan saya ke sini hendak apa, sebab mereka hendak bertanya ternyata sungkan. Tujuan saya kemari adalah untuk penelitian tentang penyakit gout arthritis alias asam urat. Serempak beberapa tunjuk jari mengatakan mereka ada keluhan asam urat. "Mas apa obatnya mas, masak Polisi kena asam urat, bagaimana saat bentrok nanti kalau asam uratnya kambuh kan bisa celaka hahaha...".
Salah seorang petugas kami pilih untuk dilihat kondisi kesehatannya. Cara yang paling praktis adalah pemeriksaan; tekanan darah, berat dan tinggi badan, kadar glukosa, kolesterol dan asam urat serta beberapa pertanyaan pendukung lainnya. Sebelum pemeriksaan kami sodorkan formulir pernyataan ketersediaan untuk diperiksa. Usai tanda tangan dia berkata "ini tidak ada acara disuntik kan..? kalau ada saya tidak mau. Saya paling takut dengan jarum suntik, lebih baik berdarah-darah karena adu senapan atau belati daripada jarum suntik".
Terlihat beberapa yang hadir disitu menahan tawa sambil menunduk atau membuang wajah. Bagaimana tidak, ternyata komandan yang mereka segani takut jarum suntik. "Sebenarnya kami hendak mengambil darah sekitar 3ml, tapi jika bapak tidak berkenan maka tidak akan kami lakukan. Tapi kami harus tetap mengambil darah untuk test pack kami. Seperti saat test golongan darah. Tidak sakit." kata kami.