Mohon tunggu...
Delicia
Delicia Mohon Tunggu... profesional -

GP, White Lily

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dokter Bukan Boneka, Robot Rakitan ataupun Kambing

2 September 2015   16:05 Diperbarui: 3 September 2015   02:21 2218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dokter juga manusia" kalimat seperti itu tentunya hampir semua orang pernah mendengarnya. Benar sekali, dokter memang manusia. Bukan dewa bukan malaikat apalagi Tuhan. Dokter bukan juga orang yang sempurna, ia juga makhluk sosial sama seperti yang lainnya. Dokter bisa marah, bisa menangis, bisa tertawa sama seperti kebanyakan orang. Ia bukan boneka, ia bukan pula robot rakitan yang tidak punya hati maupun perasaan.

Di luar ruangan, bahkan orang tidak tahu kapan ia diam-diam menangis, kapan ia merasa menjadi orang yang tidak berguna saat ia dengan sekuat upaya namun yang ditolong tidak dapat tertolong. Tangisan histeris keluarga pasien yang menangisi kepergian anggota keluarganya terkadang bahkan terngiang-ngiang saat ia tidur dan terbawa di dalam mimpi tidur mereka yang tidak pernah benar-benar pulas tertidur.

Hampir rata-rata dokter seperti kami tidak tahu kapan namanya tidur nyenyak. Ia terbentuk menjadi manusia siaga, siap menghalau ngantuknya kapan saja. Bukan semata-mata karena rupiah, saat sangat lelah kami harus siap terbangun kapan saja ketika mendengar panggilan hatinya. Seperti seorang prajurit yang memeluk senjata di medan perang, nampak lelah tertidur tapi tidak pernah benar-benar terlelap pulas.

Namun kami menikmati semuanya itu, karena memilih menjadi dokter sebenarnya bukan sekedar cita-cita tapi adalah panggilan. Menjadi berguna bagi orang lain, apalagi ketika berhasil menyelamatkan satu orang di ambang maut itu menjadi kepuasan dan sukacita tersendiri bagi kami. Bukan hebat, kuat dan gagah kami tapi kami melakukan itu semata-mata karena kepercayaan dari sang pencipta yang paling berhak atas hidup mati seseorang. Kami berdoa dan berteriak dalam hati, meminta pasien kami bisa diselamatkan, kami meminta belas kasihan Tuhan atas mereka yang datang kepada kami. Karena itulah satu-satunya yang bisa menutupi begitu banyak keluh kesah yang tidak terucapkan selama menjalankan profesi sebagai dokter untuk menolong mereka. Bisakah anda bayangkan, di tengah malam kami terperanjat bangun dan ngantuk kami menghilang seketika saat seseorang yang harus kami tolong sedang bertarung dengan maut. Kami melakukan berbagai upaya supaya mereka selamat. Kami berjuang, sampai tidak sadar tangan kami terluka oleh jarum suntik, atau terluka oleh jarum untuk jahit luka, atau oleh pisau bedah, atau pecahan kaca dari ampul obat yang dipecahkan tergesa-gesa. Bahkan luka saat seperti itu sama sekali tidak terasa sakit, namun darah tahu-tahu keluar dari bagian tubuh kami. Pada saat pasien yang meronta-ronta, yang diluar kesadarannya tidak segan-segan menyepak menendangi, memukul, saat kami pegangi, memeriksa atau saat memberikan suntikan padanya. Hati kami berteriak meminta tolong kepada Tuhan, namun suara kami ditahan supaya tidak ada seorangpun yang mendengar agar tidak menimbulkan kepanikan. Namun terkadang di luar kesadaran, saat yang benar-benar genting suara itu kedengaran juga. Dokter yang tidak berkata-kata saat kondisi darurat dan nampak konsentrasi bekerja, tahukah anda bahwa saat itu sebenarnya kami sedang berdoa meminta pertolongan dan belas kasihan Tuhan untuk pasien yang sedang kami tangani?. Waktu demikian sangat berharga untuk menyelamatkan seseorang, seorang dokter tidak mungkin meninggalkan pasiennya dalam keadaan darurat, lalu ia masuk ke dalam kamar dan berdoa di sana. Itu konyol namanya.

Kami tidak memperdulikan atau menanyakan, berapa kesanggupan mereka untuk membayar kami. Kami lakukan semata-mata karena hati nurani kami, bukan semata-mata karena tugas profesi belaka. Tapi hari ini, dokter banyak dibuat terluka oleh sistem yang ada. Bukan karena ia dibayar recehan seperti seorang tukang parkir, atau sebesar biaya pemakaian toilet umum. Tapi kami terluka, kecewa karena kami harus bekerja di bawah standard profesi, dipaksa bekerja mengesampingkan hati nurani kami, mengesampingkan kaidah luhur profesi. Kami dijadikan boneka dan robot rakitan demi kepentingan golongan tertentu yang mengatasnamakan demi hajat hidup orang banyak. Kami menolaknya? Tapi sistem kerja paksa seperti itu sudah dikemas demikian bagus dibungkus rapi dengan undang-undang. Dan semua pasti tahu setiap pelanggaran, ada konsekuensinya. Dan konsekuensinya tentu saja kian memojokkan dan merugikan kami.

Kami seperti gadis belia yang begitu lugu tahu-tahu harus menjual diri karena menjadi korban trafficking. Yah... posisi kami seperti itu, tidak tahu kemana harus pergi menyelamatkan diri, suara kami parau karena tidak di dengar. Kami bekerja bukan sesuai hatinurani kami yang mula-mula. Kami tetap dijanjikan bisa makan, tapi bukan itu tujuannya. Kami dituntut melakukan tugas kami, dan kami memandang malu terhadap diri sendiri apalagi mengingat jas kami yang berwarna putih itu. Banyak hal kami tidak bisa perbuat, hukum berdiri mencekik kasih. Mau menolong pasiennya, lihat dulu apakah sudah sesuai prosedur yang ada, kelengkapan berkasnya, dan segala tetek bengek yang mengulur waktu. Mau dirujuk? Eh... nanti dulu periksa dulu di daftar apakah termasuk ke dalam seratusan lebih penyakit yang ditentukan tidak boleh dirujuk. 

Bekerja tidak sesuai dengan hatinurani, itu seperti kerja paksa... dan itu menyakitkan membuat dokter rawan terkena stres. Kami ingin seperti kami yang dahulu, kami tidak mau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati kami, kami tidak mau diperalat, kami adalah dokter bukan boneka, bukan robot rakitan, kami juga manusia punya hati dan perasaan bisa terluka ketika menjadi korban ketidakadilan. Kami dikambinghitamkan atas kekacauan, atas ketidakpuasan pasien, padahal kami bukan kambing. Kami sama seperti gadis belia korban trafficking itu. Hari gini banyak yang sudah didera buta mata, tuli telinga, buta hati, dan mati rasa. Berdoa saja 70 tahun Indonesia merdeka, kita semua akhirnya memang benar-benar merdeka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun