Peneliti Sosial Hans Antlov (1994) mengingatkan kita slogan go local politics. Ini berarti kecenderungan politik dapat dibangun melalui dua jalur, pertama perluasan pemahaman dan wawasan politik lokal, dan kedua, eksperimen tentang partisipasi warga.
Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 72 tahun, kita disuguhi oleh banyak permasalahan hak -- hak sebagai warga negara, mulai dari hak berpolitik, hak berserikat serta menyampaikan pendapat, hak memeluk agama dan beribadah hingga hak hidup layak. Ketika bicara lingkup nasional, terbilang cukup mudah, kita rakyat Indonesia untuk mengukur capaiannya, memeberikan evaluasi dan mengontrol pemerintah pusat melalui berbagai media.
Namun menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat di daerah atau lokal yang ingin mengetahui capaian pemerintahan daerahnya dalam memenuhi hak -- hak warganya. Penyebabnya diantaranya masih jarangnya komunitas masyarakat daerah yang melakukan kontrol secara ideal dan kurang massifnya pemberitaan media terhadap kekurangan -- kekurangan pembanguan di daerah yang diperparah masih belum terbuka sepenuhnya sebagian besar aparatur di daerah terhadap capaian kerjanya.
Untuk merubah kondisi di daerah ini, bukanlah tugas yang mudah. Butuh tenaga dan waktu yang ekstra untuk merawat kemerdekaan di daerah. Terlebih jika yang ingin merawat kemerdekaan ialah kaum muda yang mempunyai misi khusus mengajak pemuda lain di daerahnya untuk benar -- benar mewujudkan kemerdekaan di daerah.
Gerakan Sosial Baru
Karl Mannheim (1952) menyatakan kaum muda dengan karakteristik yang khas merupakan kekuatan tersembunyi sebagai agen pembaharuan (revatilizing agen) dalam setiap masyarakat. Tesis Karl Mannheim yang telah teruji pada sejarah gerakan pemuda Indonesi ini, menjadi gerbang masuk bagi pemuda di daerah untuk melakukan perbaikan untuk kemajuan.
Atas dasar ini saya dengan beberapa kawan -- kawan yang berdomisili di Depok, meski bekerja atau kuliah di luar wilayah Depok membentuk komunitas yang bernama Pemuda Anti Status Quo (Pedas) Depok. Kesepakatan kami, Pedas Depok mengambil jarak dari kekuasaan, yang berarti menjadi oposisi atau pengontrol jalannya kekuasaan di Depok, baik dari Pemkot maupun DPRDnya.
Pedas Depok yang operasionalnya berasal dari urunan sesama anggotnya, membuat kami fokus bergerak di media sosial. Depok sebagai kota penyangga Ibu Kota Negara, Jakarta dan mempunyai beberapa kampus atau universitas di wilayahnya dan sekitarannya, kami artikan memiliki banyak pemuda yang terdidik, kelas menengah dan kritis. Kami pun memutuskan untuk melakukan kritik melalui twitter.
Twitter Pedas Depok dapat dilihat melalui link berikut https://twitter.com/pedas_depok Melalui twitter ini, kami menyampaikan kritik melalui pembuatan kultweet, diantaranya sebagai berikut, Kapan Pemkot Depok Seirus Bersihkan Pungli? https://chirpstory.com/li/348589 Menilai Reformasi Birokrasi di Depok https://chirpstory.com/li/345469 dan Depok Kota Macet https://chirpstory.com/li/346997 . Kritik -- kritik ini kami lancarkan untuk menjawab informasi yang "manis" yang digencarkan oleh Pemkot Depok melalui websitenya depok.go.id dan diperbanyak melalui jaringan media sosialnya.
Dari twitter inilah kami yang berada di Pedas Depok mencoba menjadi apa yang dikatakan Jordan dalam Cyberpower: The Culture and Politics of Cyberspace and The Internet (1999) yaitu "khalayak yang memiliki kekuasaan untuk mentansformasikan dirinya untuk memanfaatkan khalayak lainnya". Inilah Pedas Depok yang dapat dimasukan dalam kategori gerakan sosial baru yang mempunyai identitas dan otonomi dengan narasi -- narasi kecilnya untuk merawat hak - hak kemerdekaan di daerah.
Daya Tahan Pedas Depok