Gebrakan pertama Yusuf Kalla (JK) adalah, ketika beliau mengkonversi penggunaan minyak tanah ke gas (LPG) saat menjabat sebagai Wapres pada pemerintahan SBY th 2007. Waktu itu, subsidi minyak tanah yang digelontorkan pemerintah dianggap sebagai memberatkan keuangan negara dan memicu terjadinya penimbunan serta penyelundupan, persis seperti subsidi BBM (premium) yang terjadi pada saat ini.
Menurut pemerintahan Jokowi-JK, subsidi BBM yang harus ditanggung pemerintah tak kurang dari Rp 430 trilyun/tahun. Meski rencana itu mendapat tantangan dari berbagai pihak, namun di hadapan WNI di Queensland of Technology-Brisbane, Australia (14/11/14), Jokowi mengatakan:
"Saya siap untuk tidak populer atas rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Seorang pemimpin harus berani mengambil resiko."
Betul Pak! Konon, untuk menghindari resiko, jangan pernah menjadi siapapun, jangan pernah menjadi apapun. Karena menjadi Kecoak pun punya resiko untuk dimakan binatang yang lebih besar atau mati terinjak.
***
Menaikkan harga BBM bersubsidi memang pahit. Inflasi dipastikan akan mengalami kenaikan secara signifikan. Namun bila subsidi itu tak dikurangi, APBN dipastikan juga akan hilang sia-sia. Akankah uang negara sebesar Rp 430 trilyun/tahun itu terbuang percuma?
Namun demikian, mengurangi besaran subsidi BBM dengan menaikkan harga bukanlah jalan satu-satunya. Bisa juga dengan melakukan konversi pemakaian BBM ke LPG. Sayang sekali, hal ini tak dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, setidaknya pada masa lima tahun terakhir pemerintahan SBY.
Mengurangi besaran subsidi atau menaikkan harga BBM seumpama memakan buah Simalakama. Dimakan Ibu mati, tak dimakan Ayah yang mati. Namun, agaknya masih ada jalan lain dengan resiko makan waktu lama dan susah payah menyiapkan infrastruktur (Konverter Kit dlsb) untuk mengalihkan pemakaian BBM ke Gas (LPG), seperti yang pernah dilakukan Wapres Yusuf Kalla pada tahun 2007.
- Selamat malam Indonesia!