Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Potensi Golongan Putih Meningkat, Kedua Kubu Perlu Evaluasi Diri

1 Februari 2019   22:17 Diperbarui: 12 Februari 2019   11:53 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu indikator terlaksananya pemilu dengan kualitas baik adalah ditandai dengan tingkat partisipasi pemilih tinggi atau rata-rata diatas 95 persen pada setiap daerah pemilihan. Keterlibatan pemilih dengan jumlah tinggi berarti mereka secara suka rela mau memberikan suaranya kepada para kandidat.

Bila kita melihat pada pemilu presiden tahun 2014 tingkat partisipasi pemilih secara umum masih dibawah 80 persen. Ini artinya terdapat 20 persen pemilih dari total pemilih yang mendapatkan haknya namun tidak memberikan pilihan kepada kandidat manapun. Bisa saja mereka melakukan golput (golongan putih), istilah populer bagi pemilih yang tidak ikut nyoblos.

Atau mereka dengan sengaja merusak surat suara sendiri saat melakukan pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Intinya mereka tergolong pada kelompok yang tidak bersedia suaranya masuk ke salah satu pasangan calon.

Formappi memprediksi jumlah pemilih yang golput pada pemilu 2019 meningkat. Jika pemilu sebelumnya hingga sekitar 30 persen lebih. Maka pada pemilu 2019 bisa bertambah. Pasalnya selain pilihan capres hanya dua pasangan calon, keduanya juga tidak memenuhi kriteria pemilih golput.

Kelompok yang sampai saat ini masih memosisikan diri sebagai golput adalah mereka yang tergolong berpikir kritis dan logis. Kelompok ini menilai capres-cawapres yang ada saat ini lebih banyak menampilkan hal-hal yang tidak esensil dalam kampanye mereka. Bahkan cenderung tidak memiliki visi yang jelas untuk masa depan Indonesia hingga 10 tahun yang akan datang.

Gaya politik yang dimainkan oleh kedua kubu, terutama petahana lebih banyak memainkan politik identitas yang tidak subtansial. Bahkan kelompok golput ini memandang pesimis pemilu kali ini, karena dianggap tidak akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Tampaknya kekecewaan menjadi faktor utama penyebab mereka memilih golput. Rass kecewa yang dialami sebagai akibat dari janji-janji politik yang tidak ditunaikan. Dan itu sudah berlangsung sejak lama, pasangan calon yang sudah berkuasa lupa pada janji kampanye yang telah mereka tebarkan.

Namun peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Luky Sandra Amalia mengatakan mereka yang memilih golput beda dengan pemilih yang tak menggunakan hak suara, dan dalam konteks hukum, golput dibenarkan atau tidak melanggar undang-undang.

Menurutnya, kejenuhan publik melihat capres-cawapres yang itu-itu saja dapat membuat tingkat partisipasi pemilih rendah. Selain karena itu, pemilih juga bisa tak menggunakan haknya jika para kandidat atau tim sukses masih memainkan sentimen Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

Memilih golput daripada memilih paslon dengan tidak bertanggung jawab tentu masih lebih baik. Karena suara pemilih akan menentukan masa depan bangsa, maka berdasarkan itu pula tidak boleh memilih sembarang paslon bila para kandidat tidak mengakomodir harapan kelompok ini.

Bahkan konsistensi kelompok golput sangat kuat. Mereka sangat aktif memantau setiap perkembangan capres cawapres dan caleg. Apabila tidak ditemukan sesuatu yang masuk akal, justru kelompok ini membangun gerakan golput untuk mengaktualisasikan aspirasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun