Dilansir dari PR Newswire, klub bola papan atas Liga Inggris Manchester City FC baru saja meneken perjanjian kerja sama dengan Wolf Blass, merek minuman wine terkenal asal Australia. Wolf Blass akan menjadi mitra resmi untuk minuman wine (the Official Wine Partner of Manchester City Football Club) di Asia, Timur Tengah dan Afrika (MEA) serta Meksiko. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Wolf Blass berpotensi menggaet basis penggemar Manchester City di seluruh dunia lewat berbagai kegiatan seperti kegiatan promosi di toko, penjualan suvenir yang menggunakan merek-merek secara bersamaan (co-branded merchandising), pembagian produk gratis, kegiatan activations pada media digital dan sosial internet, serta berbagai kegiatan yang melibatkan para pelanggan (customer events).
Sudah lama, berbagai merek dunia mendompleng ketenaran klub sepakbola. Beberapa tahun belakangan, merek asal Indonesia juga mengikuti tren itu. Lihat saja Garuda Indonesia yang mensponsori Liverpool, lalu Kacang Garuda yang menjadi sponsor resmi Real Madrid, atau Bank BNI yang menjadi mitra resmi Chelsea. Menyangkut Manchester City, Extra Joss sebetulnya mendahului Wolf Blass dalam menjadi sponsor resmi klub yang bertajuk "The Citizens" itu.Â
Apa sebetulnya yang terjadi dengan dunia olahraga Indonesia? Mengapa hanya sedikit cabang olahraga, atau klub sepakbola yang berhasil menarik sponsor? Jangankan perusahaan asing, hanya sedikit merek lokal yang mau mensponsori cabang olahraga lokal. Sebut saja, Grup Djarum & BliBli.com yang getol mensponsori cabang bulutangkis nasional. Bahkan, Rio Haryanto yang turun di olahraga bergengsi Formula 1 saja, kesulitan mendapat sponsor resmi. Aspek Sport Marketing menjadi konsep yang sulit diterapkan di dunia olahraga nasional.
Berikut alasannya:Â
1. Â Due Diligence
Banyak sekali cabang olahraga nasional yang mengabaikan berbagai macam jenis aspek usaha. Sering kali, atlit dan manajemennya gamang berbicara soal bisnis. Padahal, sebagai sebuah industri, aspek-aspek bisnis pasti berlaku. Itu sebabnya, ketika perusahaan yang berpotensi menjadi sponsor resmi acap kali kesulitan menjalin kerja sama karena menempuh proses uji tuntas (due diligence) yang berbelit-belit dan tak jelas.Â
2. Komunikasi
Kebanyakan atlit maupun klub olahraga tak memiliki program komunikasi yang memadai. Padahal, reputasi atlit atau klub olahraga di mata pers dan masyarakat menjadi prasyarat suatu perusahaan untuk memberikan sponsor. Siapa sih yang mau mensponsori atlit yang tak pernah dipublikasikan secara luas? JIka ditilk dari pengalaman Manchester City & Wolf Blass, keberhasilan suatu klub adalah soal publisitas. Coba bayangkan, siapa sih yang mengenal reputasi Manchester City kalau ditarik ke 10 tahun silam? Tapi kini, The Citizens sudah setara dengan Manchester United, rival satu kotanya. Padahal jika ditilik dari prestasi, The Citizen belum bisa menyamai torehan Red Devil.Â
3. Return on Investment
Nah, poin satu ini juga menjadi penting bagi aspek sport marketing. Bagi sebuah sposor, tentu dana yang telah digelontorkan ke atlit atau klub atau ajang olahraga harus mendatangkan imbal-hasil baik secara material, atau nonmaterial. Contoh, Wolf Blass. Mereka tentu saja sudah memilik perhitungan berapa potensi pendapatan yang akan diterima ketika melakukan aksi cobranding dengan Manchester City. Namun, atlit lokal sulit menjawab itu. Bagi mereka, kasih uang sponsor, habis perkara. Mereka sulit menjawab ketika berbicara soal kerja sama tindak lanjut: misal, coevent bersama sponsor atau kegiatan marketing lainnya.
Semoga ke depan, cabang olahraga nasional bisa betul-betul profesional dan menangkap peluang pasar. Jangan sampai merek-merek besar asal Indonesia malah menghabiskan dana sponsornya ke pihak asing, sementara kita hanya menjadi penonton!