[caption id="attachment_241306" align="alignnone" width="300" caption="Masjid di kampung saya, pelosok Flores Timur."][/caption] Saya tinggal di perkampungan di pinggiran Surabaya, tepatnya daerah Gedangan, Sidoarjo, yang penduduknya hampir 100 persen beragama Islam. Masjid di RW saya ada tiga meski tidak terlalu besar. Di RT saya, warga yang non-Islam hanya tiga rumah. Jadi, suasana islami sangat terasa. Apalagi, Sidoarjo ini tergolong kota santri. Yang paling menarik bagi saya adalah JUMATAN atau salat setiap Jumat siang. Mengapa? Yang ikut salat ini semuanya laki-laki. Yang perempuan tetap saja sibuk di rumah, baca koran, memasak, menonton televisi, dan sebagainya. "Sampean kok gak jumatan?" pancing saya kepada Ambar. Sebetulnya saya sudah tahu jawabnya. Bahwa salat Jumat itu hanya wajib untuk laki-laki. Kaum wanita tidak wajib alias sunnah. Hehehe... Si Ambar tertawa kecil. Dia tahu ke mana arah pancingan saya. "Lha, wanita itu gak wajib salat Jumat, Mas. Kalau laki-laki sih wajib," katanya ramah. Saya pun melanjutkan nyeruput kopi sambil bersama-sama menonton acara televisi yang tidak menarik. Nona manis ini sepengetahuan saya tidak pernah ikut salat Jumat, tapi rajin salat wajib lima waktu sehari. Mengapa saya iseng bertanya soal kaum perempuan di lingkungan saya yang tidak salat Jumat? Sebab, di desa asal saya di NTT, tepatnya pelosok Flores Timur, hampir semua perempuan (anak-anak, remaja, gadis, mama-mama, hingga nenek-nenek) pun ramai-ramai datang ke masjid setiap Jumat. Ada yang bawa tikar dari rumah, sajadah sudah pasti, untuk menunaikan sembahyang berjemaah setiap pekan itu. Perempuan yang tinggal di rumah tentulah yang punya halangan menurut ketentuan agama. Para laki-laki pun rajin sekali salat Jumat. Di mana-mana kaum minoritas memang paling antusias menjalankan kewajiban agamanya ketimbang mayoritas. Contohnya: di pelosok Flores itu banyak orang yang absen ke gereja karena sibuk cari ikan atau masih kerja di kebun. "Sampaikan salam saya untuk Bapak Pastor di gereja ya? Tuhan sudah tahu bahwa saya punya alasan untuk tidak ikut misa di gereja," begitu antara lain guyonan orang-orang Flores yang malas ke gereja. Hehehe.... Kembali ke kampung saya di pelosok NTT yang sederhana, baru kemasukan listrik PLN sekitar 10 tahun lalu, warganya banyak yang merantau ke Sabah, Malaysia Timur. Sebagian besar penduduknya beragama Katolik. Sebagian kecil beragama Islam. Ada pula orang tua yang menganut "agama" nenek moyang atau ritual prakristiani layaknya tradisi etnis Lamaholot. Masjid di tengah kampung itu tidak terlalu besar. Mushala di Sidoarjo malah jauh lebih besar. Tapi antusiasme umat Islam untuk beribadah patut diacungi jempol. "Tite ata diken perlu sembeang. Tite toi hala hogo erem rua tite mataye," kata Haji Anwar Tadong, takmir masjid sekaligus imam di Masjid Lewotolok. Pak Haji ini masih tergolong paman saya. Kata-katanya dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah Flores Timur, itu artinya: "Kita manusia harus sembahyang. Kita tidak tahu besok atau lusa meninggal dunia!" Begitu Pak Haji memotivasi umat agar rajin-rajinlah SEMBEANG. Orang Flores Timur kurang mengenal kata SHALAT atau SALAT. Yang dikenal adalah SEMBEANG atau SEMBAHYANG. Kata MUSHALA pun baru saya ketahui saat kuliah di Jawa Timur. Di kampung saya masjid kecil itu disebut LANGGAR. Nah, mungkin karena sedikit jumlahnya, orang Islam di daerah saya sangat guyub, kompak, dan antusias mengikuti salat dan perayaan hari besar Islam. Setiap hari raya macam Idul Fitri dan Idul Adha umat Islam dari seluruh kecamatan berkumpul di salah satu desa untuk salat berjemaah. Gantian dari desa ke desa. Panitianya gabungan umat Islam dan Katolik. Para tamu dari luar desa itu menginap di rumah-rumah penduduk yang beragama Katolik. Sang kepala desa, yang Katolik (dari 20 desa, hanya 3 kepala desa beragama Islam, kalau tidak salah), berperan sebagai penasihat panitia hari raya Islam itu. Beliaulah yang menentukan rumah Pak A nampung berapa orang tamu dari desa X dan seterusnya. Usai ibadah salat berjemaah, seluruh warga desa mengadakan perayaan, menikmati gule dan sate kambing ramai-ramai. Kemudian para tamu itu dilepas ke desanya masing-masing. Tahun lalu, rumah orang tua saya di kampung, (kami keluarga Katolik, bahkan bapak saya dulu ketua dewan stasi, posisi yang tergolong tinggi untuk ukuran gereja-gereja desa di Flores) menampung sekitar 10 tamu muslimin dari desa muslim di kawasan paling ujung kecamatan saya. Setelah itu, hubungan kekerabatan kami makin erat. Saat mudik Natal belum lama ini, gantian saya yang dijamu saat mampir ke desa yang punya budidaya rumput laut itu. [caption id="attachment_241370" align="alignnone" width="565" caption="Paduan Suara Orang Muda Katolik Paroki Jember, Jatim (foto: Majalah HIDUP)"]