Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemicu LSM Terdisrupsi

17 Januari 2020   09:45 Diperbarui: 17 Januari 2020   10:34 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, unjuk rasa LSM (sumber: suarakarya.id)

Perubahan mindset berkala harus dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pilihan ini menjadi keharusan dan mendesak. Bila tidak, LSM bisa punah dan ditinggalkan masyarakat. Betapa tidak, di Indonesia banyak bermunculan LSM yang hanya berorientasi pendanaan. Melekat pada logika bahwa jika tak ada anggaran, tidak akan ada program yang jalan. 

Walau tidak semua begitu. Namum ini fenomena dominan. Terdapat sebagian pegiat LSM yang inovatif, memikirkan dan mendesain program, namun tetap ujung-ujungnya mengajukan proposal bantaun dana yang kenyakan dikucurkan dari Luar Negeri.

Kucuran dana atas nama kemanusiaan bukan berarti bebas nilai. Tidak ada satu urusan di dunia ini yang bersifat value free. Pergeseran kebiasaan pengelolaan LSM yang berbasis menunggu alokasi anggaran, membuat pegiat LSM miskin akan kreatifitas. Para aktivis LSM tersandera. Membuat mereka mengabaikan pemberdayaan masyarakat.

Kerja-kerja sosial berupa pendampingan warga termarginal, mulai ditinggalkan. Pilihan terburuknya, sebagian pimpinan LSM berlagak seperti broker. Bahkan, sedihnya menjadi elitis, senang berkegiatan di hotel-hotel mewah. 

Terjadilah disrupsi, pemicu peran LSM terdisrupsi karena pegiat LSM minim kesadarannya untuk berfikir mandiri, kepekaan yang memudar dan menurunnya rasa tanggung jawab sosial.

Tanpa disadari eksistensi LSM tereliminasi di tengah-tengah masyarakat. Citra buruk mengemuka, aktivis LSM dicurigai dan dianggap agen ganda atau spionase kelompok tertentu. Pergerakan LSM terkesan seperti EO (Event Organizer). Selebihnya independensi kelembagaan menjadi tergadaikan. Bergeserlah orientasi LSM dari memberdayakan masyarakat, menjadi menargetkan kegiatan untuk menambah pundi-pundi pribadi.

LSM sejatinya bukan mata pencaharian. Disrupsi teknologi juga menjadi tantangan terberat LSM dalam persaingan. Perlu kejujuran dan objektivitas kita mengurai kompleksitas masalah yang dihadapi LSM saat ini, yang membuat masyarakat enggan mendukung ragam kegiatan LSM.

Kalau ada masyarakat yang memberi support, biasanya hanya mereka yang terlibat kasus tertentu yang di advokasi LSM saja. Selebihnya, partisipasi dan pemberdayaan dari masyarakat lainnya begitu minim dukungan.

Padahal secara filosofis gerakan LSM merupakan gerakan bertumbuh dari gerakan masyarakat sipil. Membangun kesadaran publik juga, saat ini masih jarang kita temukan dilakukan LSM. 

Sepertinya kita kehilangan dua hal sekaligus. Pertama gagasan besar dan kedua figur atau tokoh penggerak. Generasi aktivis kini mudah bosan. Belum mampu survive ditengah hantaman kondisi ekonomi atau kesejahteraan masing-masing. Sederhananya kita belum tuntas dari diri sendiri, belum punya mental kuat.

Perlu diakui bahwa kita mengalami krisis. Dari orang-orang yang punya kesadaran berkorban dan bekerja di LSM tanpa imbalan, berpindah melalui kemunculan generasi baru yang semua pelaksanaan program mengharapkan keuntungan finansial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun