Mohon tunggu...
Baiq Dwi Suci Anggraini
Baiq Dwi Suci Anggraini Mohon Tunggu... Membaca, menulis, berbagi dan publikasi. -

Praktisi pendidikan, Penulis dan Editor buku. https://www.inspirasi.co/baiqdwisuci/ https://www.instagram.com/baiq_dwisuci/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Delete Picisan, Save Iman

28 Agustus 2017   10:32 Diperbarui: 28 Agustus 2017   10:58 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila kuingat wajahnya, serasa masa itu terlalu jahil. Kelam kurasa masa produktif itu, sampai akhirnya kupahami islam secara sempurna. Tiada mulianya diriku yang hina saat interaksi tanpa batas menjadi santapan yang sangat nikmat. Begitulah masa muda mengajarkanku arti pengendalian iman. Tidak akan pernah aku mampu mempertahankan syariat jika tak mengenal dekat agama suci ini.

Kegelapan membayang setiap kuputar lagi rentetan daftar tumpukan dosa masa lalu. Kala itu aku tengah terbuai bisikan manis para lelaki perayu. Aduhai, pintar benar mereka keluarkan kata-kata rayuan pada setiap wanita idaman. Tentu aku pun tak luput dari sasaran empuknya. Salah seorang coba dekati dan mulai mainkan sandiwara denganku. Persis telenovela, terlalu picisan! Itulah romansa remaja yang penuh gelut asmara, addinullah tersingkirkan sejenak dari pikiran.

Lama-kelamaan aku semakin sering merespon aksi pemuda playboy cap kakap itu. Bukan satu dua orang yang dirayu, mungkin puluhan jumlah perempuan berhasil masuk perangkap gombalannya. Dan aku termasuk korban percintaan semu tanpa ikatan halal. Melanggengkan hubungan pacaran menjadi keputusan final. Pasalnya sederhana saja, kata-katanya telah mampu menghipnotis benciku jadi rasa yang lain. Sebuah rasa yang kuanggap aneh kini, seketika enyah sejak konflik mulai muncul diantara kami.

Sebut saja Zain nama lelaki yang memacariku saat itu. Ah, tak ingin lagi menyebutnya sebagai mantan pacar atau bekas kekasih. Sejak dulu sampai sekarang ia saudara satu aqidah denganku, sama-sama muslimnya, sama-sama terhinanya di hadapan syariat tertinggi. Duhai syariat, andai aku jauh mengenalmu lebih lekat pasti maksiat itu tak kan terlaksana. Tapi sudahlah, berharap saja agar tak kembali terperosok pada lubang yang sama. Bagaimana tidak, jatuhnya aku ke lubang paling hina itu berarti akan selalu siap menghadapi pengadilan akhirat kelak. Untuk apa kau gunakan masa mudamu? Mulut tak bisa bohong, seluruh anggota tubuh akan bersaksi atas persaksian mereka masing-masing. Baiklah, masa mudaku tidak sepenuhnya kugunakan untuk melanggar syariatMU. Akan kuperbaiki ia agar lebih berat timbangan pahala daripada dosaku di masa lampau. Aish, tetap saja tak bisa kulupakan masa-masa menjijikkan itu. Bahkan saat mencuat tingkah polah melepas kerudung didepan Zain. Astaghfirullah... masih ingat betul bagaimana tanganku berjabat setiap kali bertemu dengannya. Masih terngiang jelas ucapan-ucapan mesra nan menjerumuskan. Hanya satu yang sanggup kujaga saat itu, tak lain adalah karunia Alloh yang tak terhingga nilainya. Sebuah manifestasi iman bergejolak setiap Zain meminta hal itu segera dilaksanakan, sayang beribu sayang selalu kutolak tegas setiap ia minta melakukan kissing meski via telepon.

Teringat munafiknya diriku saat itu. Di SMA aku sempat aktif di organisasi keislaman, maka saat jadi mahasiswi aku pun sekaligus aktif pacaran. Mengingat ROHIS, justru yang muncul dibenakku adalah Kak Kusuma. Dia sama saja seperti para ikhwan yang saling ingatkan sholat dhuha, puasa sunnah senin-kamis, dan seterusnya. Aku mengenalnya perantara diskusi-diskusi ilmiah. Lama-kelamaan jadi diskusi soal jodoh dan menikah. Parah banget yah! Maklum, saat itu aku belum terlalu memahami interaksi laki-laki dan wanita dalam islam. Pikirku, asal tak ciuman, pelukan, dan seterusnya tidak apa-apa. Ah, sudah kelihatan benar pemahaman islam yang sangat dangkal bagi remaja seusiaku saat itu. Maka jangan heran kalau aku pun sering menggali ilmu-ilmu agama dari Kak Kusuma, ku tau dia cukup banyak paham soal islam. Sampai pada saat itu, semua obrolan melenceng menuju percakapan dua sejoli yang tengah saling suka. Tampak naluri sedang bermain dan saling mengacak jalan cinta dibalik polosku.

"Adek sudah punya pacar?" pertanyaannya memunculkan rasa ingin tahuku sebab ditanyakan kalimat itu. Maka kubalik saja pertanyaannya, "Memang Kakak sudah punya pacar?" mulai berani kutanyakan soal itu, pasalnya sinyal-sinyal yang ditunjukkan membuatku semakin GE-ER. "Kakak bukan milik siapa-siapa, Kakak selamanya milik Alloh saja.." mantap benar prinsipnya. Kalimat itu yang makin membuatku takut berpacaran. Sampai saat mengenal Zain, saat itulah iman mulai goyah. Seketika aku coba membandingkan Kusuma dan Zain. Kak Kusuma sangat menjaga arah bicaranya, justru Zain selalu katakan yang tak membuatku nyaman.

"Cuma kissing," katanya makin buatku geram. Permintaan itu sudah hampir puluhan kali dan hatiku berhasil terus menepis nafsunya. Sungguh hanya keimanan saja yang membuatku bertahan dengan godaan nan menggiurkan. Alhamdulillah imanku tak sekarat atau mati, segera kusembuhkan dari sakitnya.

"Sudahlah, kita putus aja.." begitulah kesimpulan akhir perjalanan gejolak pemikiranku. Antara cinta pada larangan Alloh dan kehendak syaithon yang terus bisikkan keindahan sesaat.

"Ya deh gak diulangin lagi," sahutnya mengiba agar tak diakhiri hubungan haram tersebut.

"Sudahlah, Adek capek kalau kayak gini terus.. Kakak nggak bisa menghargai saya," harapku kalimat itu sanggup jadi penutup segala cerita menghinakan. Namun rupanya ia pandai mengaduk-aduk ketegasanku.

"Iya, Kakak minta maaf.. janji nggak akan kayak gitu lagi," silahkan sampaikan beribu janji, tapi aku sudah muak mendengarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun