Dilemparkannya tatapan kosong itu. Tersangkut pada langit-langit kardus yang kuning. Kusam; dan beberapa di antaranya berwarna arang. Penggungnya telah rapat dan sama rata dengan dipan tak berkasur di sana; keduanya sama-sama membatu. Entah bagaimana cara memastikan lama mereka membeku, berdua. Tidak ada kata-kata. Hanya sesekali dipan itu bernyanyi; meski terlalu parau.Â
Kawanan tikus bersuka ria, menikmati lubang mungil di pojok dinding. Tak ada warna lain pada lubang itu; pekat. Namun hanya itulah surga bagi keluarga tikus-tikus itu. Sederhana. Tak lebih. Betapa tidak, 'bolongan' itu adalah harta mereka. Saat mereka menangkap tulang basi dari kantung sampah, tanpa lubang itu akan berarti bencana.Â
Gerombolan kucing-kucing di sana pasti tak mau melepaskan kawanan tikus untuk menikmati tulang basinya. Pasti si tikus akan dikejar. Setidaknya, cakar-cakar yang kasar akan menggurat punggung tikus yang rapuh dan halus. Si tikus akan disiksa. Dimangsa. Dan biasanya hanya kepala dan tulang-tulang mereka yang tercincang akan bergelayut pada pagar-pagar berkarat di sana. Namun, adanya lubang itu telah mengubah sejarah mereka. Itu adalah jalur pintas yang strategis dan efektif untuk menyelundupkan makanan untuk keluarga tikus.Â
Sore itu sangat lembab. Hampir sebulan penuh, mendung hanya menggantung di langit-langit kota tanpa nama itu. Dan begitu pelitnya, sampai-sampai air dalam kandungan awan tak juga diguyurkan.Â
Jalur air telah sesak dengan sampah plastik. Genangan air mengental. Bakteri mengurai kotoran. Membusuk. Menguap memenuhi udara yang terhimpit dinding-dinding sempit.Â
Remaja di atas ranjang itu masih tak bergeming. Jemarinya menyentuh ubin semen yang sama panasnya dengan isi pikirannya. Dia telah paham bahwa sore ini tak akan ada makan malam. Dia masih mencoba menggapai rasa kenyang dari sebungkus nasi siang. Meski tidak ada yang istimiwa, sepotong sayur nangka dan separuh ikan Gembung, namun dia merindukan rasa kenyangnya.Â
Kepalanya perlahan terangkat. Hanya beberapa senti meter. Dan dia merasa cukup untuk melihat seperangkat barang di pojok kamarnya.Â
Sebuah panci. Tutupnya sedikit terbuka. Lebih dari separuh panci itu ter isi penuh. Paku, baut dan potongan baja runcing membanjiri isi panci itu. Beberapa kabel menyulur di atasnya. Sebuah terminal pengatur waktu juga terlihat menempel dengan terlilit lakban.Â
Tubuhnya kemudian berkeringat. Bulir-bulir air menelusuri kulit cokelatnya yang halus.
Suara kecil seolah menggaung di telinga remaja itu. 'Bang, cepat ayunin lagi' pinta bocah perempuan yang ada dalam benaknya. 'Bang, kapan pulang... Bang kapan main lagi... bang... bang....' Suara kecil itu semakin bergema. Keras. Dan seperti ledakan dalam beberapa saat kemudian. Suara dalam khayalan itu cukup untuk membuatnya berjingkat.
'Jam 18.30' seolah terperanjat.