Mohon tunggu...
Ary Surya
Ary Surya Mohon Tunggu... Administrasi - Perjalanan 1000 Mil Diawali dengan Satu Langkah Kecil

Pernah kuliah di manajemen keuangan, lulus ilmu pemerintahan. Sekarang bikin dan jualan rumah sederhana sampai mewah serta nyambi jualan mainan & hobi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemerataan yang Direratakan

18 Oktober 2015   21:19 Diperbarui: 18 Oktober 2015   21:19 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sewaktu kecil sekira kelas 4 atau 5 SD, nenek bercerita jika Gatot Kaca itu makamnya ada dipegunungan Himalaya. 4 tahun kemudian guru sejarah menerangkan bagaimana pendidikan dijaman belanda masih menjajah kita. Mereka mendidik bangsa kita dengan banyak ketimpangan, alih-alih mencerdaskan malah membuat bodoh rakyat Indonesia. Mereka menampilkan peta negaranya yang secuil dengan besarnya, sebesar papan tulis kapur. Sedangkan peta Indonesia sebesar kertas folio. Luar biasa dahsyatnya pendidikan kala itu. Mengecilkan dan melemahkan yang besar dan sebaliknya.

Saat kelas 6 SD diajari tentang PELITA dan REPELITA, pembangunan lima tahun dan rencana pembangunan lima tahun. Program pembangunan yang direncanakan dan diusung oleh orde baru (begitu mereka menyebutkan orde mereka) saat itu. Salah satu dari rencana pembangunannya adalah pemerataan pembangunan. Pembangunan diseluruh Indonesia, ternyata sebuah retorika yang mungkin bisa saja hal tersebut merupakan bagian kecil dari sebab tumbangnya orde baru.

Warisan pendidikan belanda hingga saat ini masih terasa, tercermin dengan berbagai hal yang bisa dirasakan, dilihat dan didengar. Contoh kecilnya penggunaan bahasa, bangsa dengan ribuan bahasa daerah masih malu dengan bahasa Indonesia yang menyerap bahasa daerah. Alih-alih mengatakan tetikus mereka lebih suka menyebutnya mouse. E-mail yang kadang ditulis email (sepertinya bagian dari gigi) daripada surel. Gadget daripada gawai, passion daripada renjana. Dan banyak lagi.

Pemerataan pembangunan, pembangunan adalah kata umum, ia mencakup pembangunan infrastruktur, ekonomi, pendidikan, politik, hukum, budaya, sosial, dan lainnya. Hingga saat ini masih terasa jakarta sentris, contoh kecilnya, adanya kebijakan gubernur DKI melarang pesepeda motor memasuki jalan sudirman, seluruh Indonesia mengetahuinya. Bahkan banjir tahunan di jakarta saja bisa mengguncang Indonesia. Padahal, Indonesia itu bukan Jakarta saja. Dan ini didorong jauh oleh media massa elektronik dan cetak yang masih terasa mengadopsi gaya-gaya jadul dengan masih saja kejakartaan. Maaf-maaf, kompasiana dot com saja menyediakan kategori jakarta, sedang daerah lain yang seabreg itu cukup dengan kategori regional. Walaupun pak Joko sudah berusaha untuk tidak jakarta sentris dengan merayakan lebaran di Nanggroe Aceh Darusalam. Atau ketika pak Joko menikahkan anaknya di Solo dengan menonjolkan kebudayaan daerahnya. Tetapi secara garis besar, kejakartaan ini masih terus mengemuka.

Seandainya saja pesawat CN 235 berhasil diproduksi secara masal dan menjadi moda transfortasi masal yang murah meriah bagi bangsa ini, tentunya pemerataan pembangunan di Indonesia tercapai dengan mudahnya menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya. Para pemimpin redaksi media massa bisa dengan mudah menerjunkan para wartawannya kedaerah-daerah terpencil. Memberitakan apa yang terjadi didaerah dan menjembatani setiap keinginan masyarakat kepada pemerintah. Kejakartaan akan hilang sendirinya tergantikan dengan keindonesiaan.

Program satu miliar untuk desa saja yang dirintis jauh sebelum kepresidenan sekarang belum tentu berhasil karena lemahnya pengawasan dan pengendalian. Pengawasan masyarakat yang masih lemah karena pembangunan politik yang seyogyanya menjadi tanggung jawab partai politik (tercantum dari Undang-undang parpol) belum dilaksanakan maksimal. Alih-alih mencerdaskan dengan memberikan pendidikan politik, sebagian parpol (entah parpol yang mana, jika menyimak pilpres 2014, Anda pasti akan tahu) malah mendidik kadernya dengan isu-isu agama, suku, ras dan budaya.

Jika saja pemerataan pembangunan itu terjadi 10 tahun yang silam, tentu para aparat keamanan tidak akan kesusahan harus menyediakan pasukan pengaman untuk sekedar mengamankan penyelenggaraan final sepakbola piala presiden di jakarta.

Jika saja sistem pendidikan bangsa ini sudah bisa menguatkan karakter bangsa ini. Sudah barang tentu akan susah sekali ditemukan slogan-slogan dengan bahasa asing saat ini. 

Konstelasi politik di Indonesia saat ini juga masih seputaran sebab akibat dari paragraf satu dan dua tulisan ini. Disadari ataupun tidak disadari, terasa ataupun tidak. Kenyataannya demikian.

Sebuah bangsa yang besar dan kuat harus porak poranda dengan kegagalan pemerataan pembangunan. Pembangunan hanya sebuah rerata dalam laporan statistik diatas kertas yang cukup dilihat dan diumumkan lalu ditutup kembali tanpa perlu adanya revisi.

Pembangunan hanya bisa dirasakan oleh segelintir rakyat Indonesia yang berada disatu wilayah dan disatu pulau. Pembangunan hanya akan menjadi mimpi-mimpi disiang bolong para rakyat yang ingin daerahnya disentuh oleh pembangunan dan kemajuan.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun