Mohon tunggu...
Soni Ariawan
Soni Ariawan Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pendidik, pembelajar, pemerhati bahasa dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arcandra dan Nasionalisme Kita

16 Agustus 2016   07:14 Diperbarui: 17 Agustus 2016   01:25 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup mengejutkan. Archandra Tahar memecahkan rekor sebagai menteri tercepat dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Kurang lebih 21 hari Archanda menduduki kursi menteri ESDM di Kabinet Kerja menggantikan Sudirman Said.

Popularitas beliau memang tidak terlalu melambung di masyarakat Indonesia. Namun, di kalangan akademisi, peneliti dan pebisnis khususnya yang bergerak di bidang ESDM, nama Archandar sudah tidak asing lagi. Selain karena sukses dengan bisnisnya di luar negeri, pemilih 6 hak paten ini juga adalah orang genius yang menjadi konsultan terpercaya di Amerika. Intinya, kesuksesan dan prestasi Archandra pada bidang yang ditekuninya sudah tidak diragukan lagi, baik secara teoritis maupun praktis. Oleh karenanya, sangat pantas jika presiden Jokowi memanggilnya untuk membenahi ESDM di Indonesia.

Namun karena kasus bipatriade atau dwikewarganegaraan, Indonesia dan Amerika, maka dengan tegas presiden memberhentikannya dengan hormat. Berkaitan dengan hal ini, Archandra diindikasikan tersangkut dengan UU No 6/2011 mengenai Keimigrasian, UU No 12/2006 mengenai Kewarganegaraan, dan UU No 39/2008 mengenai Kementerian Negara. Selain itu, pasal 23 Undang-Undang Nomer 12 Th. 2006 mengenai Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatakan, warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya bila yang berkaitan peroleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tak menampik, atau tak melepas kewarganegaraan lain. (sumber: kompas). Sementara itu Archandra tercatat sejak Maret 2012 telah melakukan kunjungan ke Indonesia dengan memakai paspor Amerika Serikat.

Kembali ke pemecatan Archandra, minimal ada 3 asumsi yang bisa saya daftar terkait dengan pemecatan ini. Pertama, publik mempertanyakan kredibilitas tim seleksi dan verifikasi presiden. Bahkan banyak media yang menggunakan istilah “kecolongan”. Seandainya proses seleksi dan verifikasi dilakukan dengan ketat, maka tidak mungkin akan terjadi kasus seperti ini. Kedua, banyak pihak yang mengapresiasi langkah tegas presiden terhadap Archandra yang memiliki dua kewarganegaraan.

Mungkin bagi presiden hal ini bukan masalah sekunder tetapi malah sebagai masalah primer yang menyangkut nasionalisme, kesetiaan kepada NKRI. Ketiga, ada pihak juga yang menganggap hal ini sebagai kasus sekunder yang penyelesaiannya cukup sederhana daripada kehilangan anak bangsa yang berprestasi, genius dan sangat dibutuhkan oleh negara ini. Apapun asumsi yang berkembang, saya ingin mengatakan bahwa kasus Archandra ini memberikan pelajaran yang sangat berarti kepada publik agar tidak mempermainkan nasionalisme apalagi sampai menggadaikannya dengan alasan apapun.

Nasionalisme Kita

Merupakan sebuah kebanggaan diri dan bangsa ketika kita bisa berprestasi di luar negeri. Jangankan sampai berprestasi, bisa menempuh studi di luar negeri saja merupakan sebuah prestasi. Hal ini karena kita telah berhasil menaklukkan berbagai macam tes dan menyingkirkan kompetitor lainnya untuk mendapatkan kuota kursi sebagai mahasiswa di universitas tertentu.

Archandra telah membuktikan bahwa mahasiswa Indonesia tidak harus puas hanya dengan bisa studi di luar negeri, tetapi harus berprestasi dan menjadi “orang penting” di tempat studi. Apalagi sampai berhasil mendaftarkan 6 hak paten, mendirikan perusahaan di luar negeri dan mempekerjakan orang dari luar negeri. Sungguh, ini lebih dari sebuah prestasi. Patut untuk diapresiasi.

Melihat track record Archandra yang memulai karir akademiknya dari ITB, mengingatkan saya tentang awardee LPDP yang studi di luar negeri. Saya membayangkan mereka nantinya menjadi Archandra-archandra muda yang mengukir prestasi. Mereka menjadi mahasiswa kebanggan profesornya, aktif melakukan penelitian sampai memperoleh hak paten terhadap karya yang diciptakannya bahkan sampai berhasil mendirikan perusahaan di negara tempat studinya. Negara mana yang tidak bangga seandainya memiliki anak bangsa seperti ini?

Namun, melalui tulisan ini saya berpesan pada diri saya dan teman-teman semua bahwa jika Indonesia diibaratkan sebagai rumah kita, dimana ibu dan ayah tinggal di sana, maka adakah rumah yang lebih nyaman dari itu di luar sana? Walau rumah kita hanya beratap jerami dan berlantai tanah, tetapi ada orang tua yang membuatnya istimewa, ada bukti sejarah dan napak tilas kelahiran kita di bumi ini yang membuatnya begitu erat. Seandainya kau menemukan rumah di luar sana, maka cukuplah singgah, jangan menetap dan mengabaikan rumahmu yang utama. Jika kau bekerja di sana, maka bekerjalah untuk memperbaiki rumahmu yang utama, bukan untuk membangun rumah di luar sana yang akan menghilangkan identitas sejarah hidupmu di bumi ini.

Jika tulisan pada paragraph di atas tidak cukup puitis untuk dimaknai, maka dalam bahasa yang sangat sederhana, saya ingin mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Arcandra adalah cermin dari kadar nasionalisme yang ia punya. Entah apapun alasannya. Yang jelas, ketika seorang menyatakan diri menjadi seorang warga negara sebuah bangsa maka dia akan berikrar untuk memiliki nasionalisme bangsa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun