Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

UU Pemilu Tak Reformis

9 Agustus 2017   07:41 Diperbarui: 9 Agustus 2017   12:07 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilu menjadi Undang-Undang. Pengesahan undang-undang ini diwarnai aksi heroik oleh empat fraksi partai politik di DPR, yakni Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS. Mereka melakukan aksi walk out dari ruang sidang. Alasannya mereka menolak Opsi A. Sebuah opsi yang menyatakan Presidential Threshold mencapai 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional.

Keempat fraksi itu mengusung atau mengajukan usul Presidential Threshold sebesar 0 persen atau disebut sebagai Opsi B. Mereka memilih melakukan walk out bisa jadi dilandasi alasan bila dilakukan voting atau pemungutan suara, mereka akan kalah dengan pendukung Opsi A. Opsi A ini dukukung oleh Fraksi Partai Golkar, PDIP, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB.

Dengan kemenangan Opsi A maka akhirnya rancangan undang-undang itu disahkan menjadi sebuah undang-undang dan keberadaannya mengikat semuanya. Bila demikian maka dalam Pemilu Presiden 2019, hanya akan ada dua  calon Presiden. Siapa orangnya? Belum tahu sebab kondisi politik setiap saat bisa berubah bahkan sampai taraf yang paling ekstrim.

Bila Pemilu Presiden hanya diikuti oleh dua calon pasangan maka pemilu itu akan terjadi dalam satu putaran. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak meski berselisih 1 suara pun akan memenangi pemilu itu. Dari segi waktu dan pembiayaan pasti aturan itu akan lebih murah dan efisien bila dibandingkan dengan banyaknya calon Presiden seperti yang terjadi dalam Pemilu 2004 yang terdiri dari 5 calon Presiden.

Namun yang perlu dicatat bahwa demokrasi itu harus partisipatif, terbuka, dan ideal melibatkan banyak pihak dengan prinsip kesetaraan dan persamaan. Dengan demikian bila kelak hanya terdiri dari dua calon Presiden maka Pemilu Presiden yang digelar selama ini hanya sebagai akal-akalan partai politik untuk memenangkan calon yang diusung. Partai politik yang mendukung opsi dan syarat calon Presiden yang demikian ketatnya, itu bentuk siasat bulusnya agar calon yang mereka dukung mempunyai lawan yang tidak banyak bahkan nihil.

Siasat yang demikian biasanya diajukan atau diusulkan oleh partai-partai yang posisinya di atas angin, petahana dan partai pendukung kekuasaan. Mereka mengusulkan aturan yang ketat agar kekuasaan yang sudah dipangkunya bisa dilanjutkan. Mereka tetap menjunjung pelaksanaan Pemilu namun syarat-syaratnya diperberat dengan tujuan menyingkirkan lawan-lawannya secara konstitusional. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan mereka sendiri padahal kekuasaan itu adalah untuk rakyat.

Kelompok-kelompok di atas angin tersebut punya alasan tingginya syarat yang diajukan, 25 persen suara di DPR dan 25 persen suara nasional, agar Pemilu Presiden bisa hemat waktu dan anggaran. Alasan itu tidak salah namun bila anggaran dan waktu menjadi pertimbangan, mengapa kita tidak mengangkat Presiden seumur hidup saja. Dengan mengangkat Presiden seumur hidup maka tidak ada Pemilu sehingga anggaran yang mencapai triliunan rupiah untuk mendanai hajatan lima tahunan itu bisa disimpan saja.

Dalam berdemokrasi yang sehat dan berkualitas, kita tidak boleh akal-akalan mengakali aturan, serta tak boleh dengan alasan menghemat anggaran lalu mencari jalan pintas. Demi demokrasi yang berkualitas dan partisipatif, berapapun biayanya harus digelontorkan. Demokrasi adalah untuk rakyat maka penyelenggara kekuasaan harus menjalankan demokrasi itu sesuai dengan keinginan masyarakat.

Kita perlu membuka aturan yang lebih longgar dalam Pemilu Presiden maupun pemilu yang lainnya, agar lebih banyak putra bangsa berpartisipasi. Kita semua yakin bahwa di Indonesia ini banyak sosok yang mampu menjadi Presiden. Jadi Presiden juga nggak susah-susah amat kok, model pencitraan saja bisa.

Nah, masalahnya bila mereka mampu dan potensi menjadi Presiden namun karena aturan yang cukup berat bahkan bisa dikatakan membatasi dan menghambat maka sosok-sosok yang mampu dan mempunyai potensi itu akan terbuang. Sementara calon yang ada, dengan kemampuan yang pas-pasan dan hanya bermodal pencitraan, namun karena diusung oleh 20 persen suara di DPR dan 25 persen suara nasional, ia berpeluang besar menjadi Presiden.

Kita ingat pada Pemilu Presiden tahun 2004, putra dan putri bangsa yang hebat bertarung memperebutkan kursi Presiden. Mereka adalah Amien Rais, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, dan Hamzah Has. Putra-putri terbaik bangsa pada saat itu bisa bertarung dalam satu panggung sebab aturan yang ada sangat longgar hanya 3 persen suara di DPR dan 5 persen suara nasional. Ringannya syarat yang diajukan mampu menyerap sosok-sosok yang mampu dan siap membangun bangsa. DPR pada masa itu demikian akomodatifnya terhadap suara rakyat karena masih diselimuti semangat reformasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun