Saya baru membaca hari ini cuitan dari syaiful Mujani. Apa ini otentik atau hoax? Lantas mengunggah gambar. Gambar yang sebenarnya sudah diingatkan publik, bahkan seorang tokoh seperti Eep Syaifulah bahwa tanda tangan Anies bukan lah seperti itu, dengan kata lain itu palsu.
Berita laporan Bawaslu tentang bahwa itu hoax juga sudah ditayangkan. Namun Syaiful juga tak mengindahkan. Atau mengklarifikasinya bahwa gambar tersebut adalah palsu. Artinya apa? ini bukan lagi soal pasu atau asli.
Yang pasti gambar tersebut sudah menjadi diskusi, setiap diskusi terjadi semakin besar penyebaran gambar tersebut terjadi. Semakin banyak yang terpapar gambar tersebut. Informasi yang estafet pada akhirnya menyebar dengan pasti.
Saya ingin bercerita tentang para peneliti dari Stanford’s Education History Group yang mensurvei 7.800 siswa yang duduk di bangku SMP hingga kuliah.
Mereka diberi beberapa berita dan diminta menilai apakah berita tersebut dapat dipercaya atau tidak. Hasilnya sangat memprihatinkan, tidak sedikit dari siswa yang lupa untuk memeriksa penulis maupun sponsor di balik artikel tersebut. Hasilnya 80 persen siswa tidak bisa membedakan berita hoax dari yang asli.
Bisa jadi ke depan motode yang sama akan digunakan oleh orang yang berniat menyebar hoax. Dengan Metode bertanya, orang bisa mencontoh dari yang Syaiful lakukan, karena bisa dijamin keamanannya. Bisa jadi kelak ketika jurusan sosial media telah bertumbuh di negara ini, metode ini nanti dinamakan Metode Saiful Hoax. Unggah gambar Mu lalu biarkan lah menjadi diskusi publik.
Atau cara yang lebih baik sesuai dengan UU ITE barang siapa yang menyebarkan hoax akan terancam pidana seperti artikel ini:
Maka metode ini tidak akan pernah ada. Dan arus informasi bisa menjadi lebih terjaga dengan baik.