Mohon tunggu...
Ankiq Taofiqurohman
Ankiq Taofiqurohman Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Orang gunung penyuka laut dan penganut teori konspirasi. Mencoba menulis untuk terapi kegamangan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

MRT Gratis Mengungkap Sisi Lain Budaya Kita

26 Maret 2019   12:22 Diperbarui: 26 Maret 2019   14:45 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembukaan masa uji coba Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu (MRT) mendapat antusias masyarakat Jakarta. Bahkan hingga orang luar Jakarta pun berebut mencobanya apalagi ditambah gratis ongkos hingga tanggal 31 Maret. MRT yang dasarnya adalah kereta listrik membuat sebagian warga tentu penasaran dengan isi gerbong serta "rasa" menaikinya. Selain rasa yang ingin dinikmati, kesan MRT sebagai kereta bawah tanah pun menambah daya pikat MRT bagi kita yang memimpikan subway atau undergeround train macam di luar negeri.

Namun euforia masa uji coba MRT seperti menunjukan sisi lain budaya kita. Di berbagai media sosial dan juga media online bisa kita temukan bagaimana tingkah laku negatif pengunjung yang ingin menaiki MRT. Foto yang sedang viral yaitu adanya sekelompok ibu-ibu bersama anak-anak sedang makan dengan lesehan di area stasiun MRT. Banyak warganet tidak setuju dan tak sedikit yang mencelanya,tapi ada pula yang memberikan kewajaran atas prilaku para ibu tersebut. Ada lagi foto-foto yang menunjukan kelakuan para generasi zaman now yang bangga bergelantungan di dalam gerbong sembari difoto, pasti tak lain adalah sebagai aksi eksistensi di halaman media sosialnya. Kelakuan "norak" para penumpang MRT tersebut hingga diulas oleh media asal Jepang, Asahi.com.

Ada banyak hal yang dapat membuat para warga tersebut berprilaku "norak" saat pembukaan MRT. Euforia gratis dan sifat narsisme adalah dua faktor dasar mengapa mereka seperti itu. Entah budaya dari mana yang selalu dimanfaatkan sebagian warga kita dengan pola pikir "mumpung gratis", padahal karcis MRT paling mahal dikisaran harga belasan ribu dibandingkan dengan usaha dan waktu yang dikeluarkan untuk mencoba MRT tidaklah sebanding. Selain pola pikir gratis, sifat ingin dipuji di medsos bahwa mereka telah duluan mencoba MRT menjadi alasan untuk berbondong-bondong tampil dalam suasana MRT. 

Apa yang dilakukan segelintir warga saat pembukaan MRT seharusnya telah diperhitungkan oleh pemerintah dan kita semua. Antusiasme warga terhadap hal-hal yang gratis dan murah bisa menimbulkan histeria massa tanpa melihat asal ataupun strata sosial, contohlah kejadian pembagian es krim gratis yang membuat murka walikota Surabaya ibu Risma, tragedi sedekah dan sembako maut di Pasuruan dan Jakarta, atau kekacauan saat diskon salah satu produk. Sebenarnya antisipasi telah dilakukan dengan cara pemberian tiket gratis melalui pendaftaran online. Bisa dibayangkan jika tanpa pendaftaran online, bisa jadi tragedi Taman Bungkul di Surabaya atau Sembako Gratis di Monas terulang kembali.

Biasanya akan ada analisis lanjutan setelah masa MRT gratis selesai, dan biasanya juga akan ada perhitungan kerugian, karena memang tidak ada keuntungannya pada masa tersebut. Keuntungan mungkin akan didapatkan secara tidak langsung dari segi popularitas Presiden Joko Widodo atau Gubernur Jakarta Anies Baswedan. 

Seharusnya masa pembukaan MRT bukan hanya sekedar mengenalkan produk MRT serta mencari simpati rakyat semata. Event ini bisa digunakan untuk mendidik masyarakat untuk lebih memahami fungsi prasarana umum. Peringatan keras atau pemberian denda dengan tegas bisa membuat malu para pelanggar aturan.

Disiplin adalah kata kunci untuk menaikan budaya suatu bangsa. Disiplin tidak bisa ditegakkan hanya oleh pendidikan saja, tetapi oleh penegakkan hukum yang tidak pandang bulu. Bisalah kita contoh bagaimana Singapura menegakkan disiplin dengan ketat hingga menjadi salah satu negara maju. Bisa juga kita mencontoh Thailand saat menggunakan militer untuk mendisiplinkan masyarakatnya saat moda transportasi ini dibuka di warsa 90-an.

Sungguh tidaklah elok pengabaian kedisiplinan hanya untuk popularitas sebagian pihak saja, karena pembiaran akan menghasilkan budaya ketidakpedulian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun