Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membaca Partai Politik dengan Jernih, Senjakala Berhala Politik

13 Januari 2020   00:34 Diperbarui: 13 Januari 2020   11:51 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Partai politik bukan berhala! Partai politik adalah sarana para elit untuk meraih kekuasaan. Ia adalah sarana dalam bentuk organisasi. Jadi saya langsung saja bilang: partai tak perlu diberhalakan, dan jangan pernah diberhalakan!

Seberjasa apa pun di masa lampau, sebuah organisasi yang orang-orangnya silih berganti, tetaplah bukan berhala yang perlu disembah dan dibela mati-matian secara membabi-buta.

Baiklah, kita mesti tenang dan berpikiran jernih dalam membedah soal partai ini. Banyak orang jadi gampang tersinggung dan baperan (oversensitif) tatkala nama satu partai kita soroti. Kita tidak membicarakan salah satu partai, atau salah dua partai. Kita bicara soal Partai Politik di Indonesa sekarang ini, secara umum.

Sebelumnya, kita mulai dulu dengan membaca kembali renungan Soe Hok Gie, seorang aktivis muda yang sampai mati konsisten menggempur kediktatoran perilaku politik maupun kediktatoran narasi intelektual:

"Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.

Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka. Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.

Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau. Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.

Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. Hidup adalah keberanian menghadapi tanda tanya.

Apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta? Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar terimalah dan hadapilah. Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak'kan pernah kehilangan apa-apa. Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu."

Demikian Soe Hok Gie. Seorang pelintas alam, pemikir bebas yang mati dalam pendakiannya ke puncak Mahameru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun