Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru PAI Kurang, Bagaimana Mengatasinya?

9 Juli 2017   14:45 Diperbarui: 9 Juli 2017   14:57 2177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: republika.co.id

Belum lama (4/7) Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama (LP Maarif NU) mengkritisi pemerintah lantaran di sekolah saat ini kekurangan guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama (LP Maarif NU), Arifin Junaidi mengatakan, kekurangan guru agama di sekolah tersebut muncul lantaran pemerintahan Jokowi kurang peduli terhadap pendidikan agama Islam. Bedasarkan data dari Kementerian Agama RI, kekurangan mencapai angka 21 ribuan lebih.

Kekurangan guru agama di sekolah bukan masalah sepele. Ini persoalan sangat serius. Ini problem mendasar bagi pendidikan nasional. Pasalnya, jika guru agama kurang, berarti pengajar agama di sekolah tersebut selama ini bukan ahli agama. Hal itu bisa membuka potensi masuknya pemahaman radikal dan intoleran. Ini mengkhawatirkan. Bukankah radikalisme telah menjadi ancaman nyata bagi bangsa dan negara?

Terkait dengan ini, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Komarudin Amin mengatakan, agama tidak boleh diajarkan orang yang bukan ahlinya. Sebab, ketika guru agama diajarkan oleh yang bukan ahlinya, maka di situ ada potensi pemahaman keagamaan intoleran, potensi radikalisme, potensi missleading yang sangat besar. Karena pemahaman keagamaannya sangat tanggung. Diumpamakan,  kalau yang mendesain bangunan bukan arsitek, mungkin saja akan jadi, tapi bangunan itu bisa roboh. Begitu juga agama, kalau bukan ahlinya, pasti akan fatal, generasi mendatang akan menjadi korbannya. Kalau masalah kekurangan guru ini dibiarkan, lanjut Kamaruddin, hal itu sangat berpotensi untuk dikapitalisasi pihak-pihak yang mempunyai agenda diseminasi ajaran agama yang radikal. Sebab, jika agama diajarkan oleh mereka yang beraliran keras maka pendidikan agama di sekolah akan berkontribusi signifikan dalam penetrasi radikalisme. (http://www.gomuslim.co.id)

Dunia pendidikan seringkali kecolongan. Pendidikan disusupi oleh paham yang menyimpang. Penyimpangan berpotensi masuk melalui buku ajar atau materi pembelajaran. Juga melalui kegiatan intra sekolah semisal Rois (seksi rohani-Islam) dalam OSIS. Masih segar dalam ingatan, kita pernah dikagetkan dengan masuknya materi aliran yang berbau radikal dan intoleran. Materi radikalisme yakni boleh membunuh orang yang dianggap musyrik, masuk pada buku Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas XI. Materi yang dinilai mengajarkan kekerasan ini terdapat pada halaman 78, buku PAI yang dikeluarkan MGMP PAI Kabupaten Jombang. Dalam buku itu, mengungkap ajaran Wahabi dengan tokoh sentralnya Muhamad bin Abdul Wahab. Dijelaskan pada halaman itu, yang boleh dan harus disembah adalah Allah SWT. Orang yang menyembah selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.

Sebagai guru, saya menyaksikan langsung kekurangan di atas. Sebenarnya tak hanya guru agama yang kurang. Guru mata pelajaran lain juga kurang. Kekurangan tersebut karena beberapa tahun terakhir Pemerintah tak mengangkat guru baru. Sejak tahun 2014 yang lalu,  Pemerintah telah memberlakukan moratorium atau penghentian sementara pengangkatan PNS. Alasan pemerintah ketika itu lantaran jumlah PNS telah mencapai kurang labih 4.517.000 pegawai. Dengan jumlah itu, rasio kepegawaian terhadap jumlah penduduk secara nasional ada pada angka 1,77. Sementara itu, banyak daerah yang rasio kepegawaiannya terhadap jumlah penduduk setempat tidak normal yakni mencapai angka 2,5 -3. Dengan rasio yang tinggi, maka belanja anggaran pegawainya juga akan membengkak tinggi.

Di sisi lain, pegawai yang pensiun tak dapat dibendung. Maka kekurangan guru menjadi keniscayaan di hampir semua daerah. Contoh, Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Tengah mencatat ada 2.700 pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang akan memasuki masa pensiun pada tahun 2017 ini. Padahal penerimaan pegawai baru masih belum bisa dilakukan seiring kebijakan moratorium penerimaan PNS yang digariskan pemerintah pusat. Jumlah tersebut sudah termasuk adanya tambahan pegawai limpahan dari (pemerintah) kabupaten dan kota ke (pemerintah) provinsi dan jumlah tersebut ada di semua tingkatan, mulai staf sampai pejabat eselon II. (http://www.solopos.com)

Mengatasinya

Untuk mengatasi problema di atas, menurut hemat saya ada beberapa hal yang dapat dilakukan secepatnya. Diantaranya, pertama, menghitung ulang kebutuhan guru secara nasional. Daerah yang kelebihan guru diwajibkan bersedia mendistribusikannya ke daerah yang kurang. Ini kudu segera dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB). Tak boleh tidak. Jangan terlalu lama membiarkan kondisi ini berlarut. Peserta didik akan menerima kerugiannya. Mereka tak memperoleh haknya yakni pembelajaran dari guru.

Kedua,menghentikan moratorium. Pemerintah segera mengisi kekurangan guru tersebut dengan mengangkat guru baru. Untuk sektor pendidikan saya yakin pegawai masih mengalami kekurangan. Sektor lain mungkin dapat dianggap lebih.  Di sektor lain, Pemerintah masih bisa memberlakukan moratorium. Itu pun harus dikaji ulang bagaimana solusinya ke depan.

Ketiga,guru agama terdekat menjadi pengganti. Ini tentu solusi sementara. Kepala sekolah segera bertindak cepat. Jangan berdiam diri. Kordinasikan dengan sekolah terdekat. Mintalah guru agama yang ada untuk dapat mengajar di sekolah. Angkatlah mereka sebagai tenaga honorer. Mengisi kekosongan yang ada.

Keempat,kepala sekolah mengangkat guru agama honorer. Jika hal ketiga tak bisa dilakukan, sekolah selayaknya mengangkat guru honorer baru. Mereka wajib berlatarbelakang Pendidikan Agama Islam. Sehingga lineer antara latar belakang pendidikan dengan apa yang menjadi tugas dan kewajiban mereka. Jangan asal mengangkat guru agama. Ini berbahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun