Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Keamanan dan Kenyamanan Penumpang, Sudahkah Menjadi Perhatian?

3 Agustus 2015   17:02 Diperbarui: 3 Agustus 2015   17:02 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

James Bassos, pria berusia 38 tahun yang berprofesi sebagai desainer interior yang asal Brisbane menuntut maskapai Etihad di pengadilan Queensland.  Dalam gugatannya James Bassos menyebutkan dirinya mengalami sakit punggung secara permanen karena posisi duduknya miring akibat terdesak penumpang lain dengan tubuh ekstra di sebelahnya pada penerbangan tahun 2011. Karena kejadian itu James Bassos menuntut ganti rugi sebesar 166.000 dollar AS untuk kerugian biaya berobat dan kehilangan pendapatan.

Menurut Bassos, ia terpaksa memiringkan posisi tubuh dengan bagian punggung tidak bisa bersandar sepenuhnya untuk menghindari persinggungan dengan penumpang yang sangat gemuk tersebut. Setelah terbang selama lima jam, dia mulai merasakan sakit di bagian punggung. Dia sempat diperbolehkan pindah ke kursi awak, tetapi Bassos kembali ke kursinya pada sisa 90 menit penerbangan untuk alasan keamanan. Sejak itulah sakit di punggungnya menjadi permanen. Maskapai Etihad menyatakan, mereka percaya bahwa penilaian medis atas sakit punggung Bassos akan memenangkan pihaknya. ”Kami yakin akan memenangi perkara ini,” ujar jubir Etihad (print.kompas.com)

Kalau kejadian ini terjadi pada maskapai Indonesia dan terjadi di Indonesia, tidak menutup kemungkinan si penuntut akan dibully, dicibir sebagai orang yang sengaja mencari kelemahan maskapai demi keuntungan pribadi bahkan bisa jadi pengadilan akan mentertawakan si penuntut dan maskapai penerbangan dengan segala kekuatan politik dan keuangan akan menjadikan si penuntut sebagai pesakitan dengan tuduhan pencemaran nama baik.  Szzzztttt....

Mengapa hal seperti ini mungkin terjadi atau bahkan sering terjadi tetapi sebagai konsumen kita diam saja? itu semua tidak terlepas dari sifat tenggang rasa terlalu berlebihan, sifat mengalah yang tidak pada tempatnya dan berbagai sifat yang kita anggap benar tetapi juga kita sadari merugikan.  Selain itu perlindungan terhadap konsumen masih sangat rendah dan prosedur yang harus dilalui nauzubillah berbelit dan susahnya, kondisi ini seakan-akan dibuat sedemikian rupa sehingga konsumen malas melakukan komplain jika kerugian yang dirasakan tidak seberapa.  Pahadal kejadian semacam ini sering berulang-ulang dan berulang-ulang pula kita memakluminya.

Selain itu penilaian masyarakat kita yang tanpa disadari justru memojokan konsumen itu sendiri, sikonsumen dianggap tidak peka dengan kondisi sosial, bahkan dalam beberapa pamflet yang beredar selalu disebutkan, utamakan orang tua, utamakan wanita hamil, utamakan anak-anak.  Edaran ini tidak salah bahkan sangat baik, tetapi praktek dilapangan disalah gunakan oleh pemilik angkutan atau oleh supir angkutan.

Contoh kasus yang sering saya temukan, di Kalimantan Barat, masih banyak transportasi kelas ekonomi, bukan hanya untuk jarak dekat bahkan untuk jarak jauh, antar kabupaten sampai antar beberapa kabupaten.  Sering di tengah jalan, kodektur bus menaikan penumpang ibu hamil atau ibu yang sudah tua, sementara tempat duduk sudah penuh.  Si ibu (dengan kemauannya sendiri dan rayuan si kondektur) akhirnya naik bus yang sudah penuh sesak dan dengan seenaknya di sikondektur meminta salah satu penumpang agar mengalah karena siibu yang naik dalam kondisi hamil.

Dari sisi kemanusiaan, dapat dimaklumi jika kemudian ada penumpang yang sengaja mengalah karena kondisi siibu, tetapi dari sisi kenyamanan sebagai penumpang, secara tidak langsung si kondektur atau di sopir telah memaksakan secara sepihak menaikan penumpang sementara kondisi bus sudah penuh.  Di kondisi seperti ini, bukan lagi sisi kemanusiaan terhadap siibu hamil saja yang harus diperhatikan, tetapi rasa aman dan nyaman penumpang lainnya harus menjadi perhatian.  Tidaklah pantas untuk mengatakan penumpang lain tidak memiliki tenggang rasa terhadap siibu hamil, sementara perjalanan yang ditempuh masih puluhan kilometer.

Yang perlu dipertanyakan adalah seberapa jauh si kondektur dan si supir memperhatikan keselamantan dan kenyamanan penumpang dan sebagai penumpang, seharusnya siibu hamil tidak lagi memaksakan diri untuk menumpang dikendaraan yang sudah penuh sesak yang pada akhirnya akan mengorbankan rasa nyaman penumpang yang lain.  Dan celakanya, jika tidak ada penumpang yang memberikan tempat duduk kepada siibu hamil, maka seluruh penumpang akan dikenakan stempel sebagai manusia yang tidak memiliki tenggang rasa, tidak memiliki kepedulian sosial dan berbagai stempel negatif lainnya.  Padahal jika kita mau sedikit saja menelusuri kebelakang, yang menjadi biang masalah justru si kondektur, sisupir dan siibu hamil itu sendiri.

Tapi orang kita, justru sangat permisif dengan pelanggaran tidak kentara seperti ini, jujur saja saya enggan memberikan tempat duduk saya kepada siapa saja, tak perduli dia ibu hamil. ibu menggendong bayi, orang tua lanjut usia dan berbagai alasan keterbatasan lain, jika mereka sebagai penumpang masih memaksakan diri untuk terus menumpang sementara kondisi bus sudah penuh.  Jangan lagi menyalahkan penumpang yang sudah terlebih dahulu berada dalam bus, sebagai penumpang tambahan, kita atau siapa saja seharusnya lebih memperhatikan keamanan dan kenyamanan sebagai penumpang.  Jangan lagi meminta orang lain perduli dengan diri kita, sementara kita sebagai konsumen tidak mengindahkan keamanan dan kenyamanan diri.  Semuanya kembali lagi pada kesadaran kita sebagai konsumen, jangan bergantung pada konsumen lain dengan alasan-alasan yang bersifat hanya menguntungkan diri sendiri.  

Ini hanya sebuah contoh kecil, masih banyak contoh-contoh lain dan saya yakin kebanyakan kompasianer kelas "opec" (organisasi pekerja ekonomi cukupan) seperti saya, pernah mengalami hal yang sama tetapi dengan alasan toleransi, tepa selira, tenggang rasa, akhirnya memilih mengalah dan diam padahal hak-hak kita sebagai konsumen sedang teraniyaya.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun