Mohon tunggu...
Ali Reza
Ali Reza Mohon Tunggu... wiraswasta -

orang bekasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tenggelamnya Kapal Van Der Wick: Membosankan!

19 Desember 2013   17:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:44 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="" align="aligncenter" width="612" caption="kredit foto: tribunnews.com"][/caption]

Lagi-lagi saya tertipu dengan trailer yang muncul sebelum film dimulai. Trailer Tenggelamnya Kapal Van Der Wick (TKVDW) muncul ketika saya akan menikmati Frozen dan The Hobbit: Desolation of Smaug. Pada akhirnya saya nonton TKVDW setelah adik saya yang SMP mengajak saya untuk menontonnya (adik saya mungkin minder karena, katanya, teman-temannya juga akan nonton film tersebut).  Beruntung saya nonton di Blitzmegaplex dimana untuk film-film lokal, harga tiketnya lebih murah lima ribu rupiah sehingga saya tidak terlalu rugi, dan lagi pula masih ada kredit di BlitzCard saya.

Film terakhir yang saya tonton sebelum KVNDW adalah The Hobbit, yang durasinya lumayan panjang dan hampir sama dengan KVNDW. Hanya, perbedaan mencolok dari keduanya yaitu jika The Hobbit sangat dinikmati, sedangkan KNVDW sangat membosankan. Anda mungkin akan mengatakan tidak bisa membandingkan keduanya. Tentu saja bisa dibandingkan dan harus dibandingkan. Terlepas dari mahal tidaknya pembuatan film, Hollywood atau non Hollywood, atau pemainnya terkenal atau tidak, bukankah sebuah film ditonton untuk dinikmati? Bukankah sebuah film punya standar dialog yang baik, kualitas gambar yang baik, ketelitian pembuatan, tata suara yang baik, dsb.? Tapi saya tidak menemukan itu dalam KNVDW.

Baiklah, saya akan mengatakan alasan mengapa film ini sangat membosankan, atau lebih tepatnya saya sebut sebagai film amatiran.

Di adegan awal kita akan disuguhkan narasi dalam bahasa Makasar disertai dengan pengambilan gambar yang lumayan. Diceritakan Zainuddin akan pergi ke tanah leluhur ayahnya di tanah Minang. Adegan itu hanya belangsung sebentar dan setelah itu hampir seluru adegan berlangsung cepat dan sangat tidak bisa dinikmati. Kita akan dihadapkan pada bahasa daerah yang penggunaannya terasa asing dan berbeda dari yang kita hadapi sehari-hari bersama tetangga kita. Pevita Pearce (Hayati) yang katanya berlatih bahasa Minang selama enam bulan ternyata hanya seorang aktris kelas sinetron dan tidak bisa mengimbangi akting Herjunot Ali (menurut saya masang Pevita Pearce merupakan kesalahan fatal). Namun bukan hanya Pevita Pearce, bahkan hampir semua pemain bisa dibilang memainkan dialog Minang yang tidak biasa kita dengar. Barangkali satu-satunya logat Minang yang terasa wajar datang dari Arzetti.

Jika tadi saya mengatakan adegan terlalu cepat, dimulai dari pertemuan Zainuddin dengan Hayati lalu datanglah cinta kilat. Seandainya saja mereka belajar dari film Titanic, mungkin hasilnya akan jauh berbeda atau setidaknya ada chemistry dan tidak hambar. Dialog-dialog yang terlalu setia pada novel dirasa banyak yang tidak perlu, terlalu panjang dan (lagi-lagi) membosankan. Parahnya, gambar yang diawal tajam tiba-tiba berubah buram dan gelap ketika Zainudin akan berpisah dengan Hayati. Penggambaran Azis (Reza Rahardian) sebagai yang gemar berfoya-foya tidak tampak di awal, bahkan terkesan sebagai pria baik. Reza Rahardian sendiri tampak tidak maksimal dalam aktingnya. Anda akan melihat kelemahan lain seperti kurang telitinya dalam pengejaan lama.

Film ini mengambil setting tahun 1930-an yang menggunakan ejaan lama. Namun jika kita melihat di harga barber shop tertulis ejaan lama (terlihat juga diprint lewat komputer), maka dalam pacuan kuda malah tertulis ejaan terbaru, “Gelanggang Bukit Ambacang”, bukankah seharusnya “Gelanggang Boekit Ambatjang?” Mohon juga dikoreksi apakah saya salah jika di korannya tertulis “Pengabar Surabaya?”

Sebuah adegan aneh muncul dalam kebangkitan Zainuddin dari keterpurukan setelah dinasehati Muluk dengan panjang lebar. Muluk sebelumnya diperkenalkan sebagai anak nakal, namun tiba-tiba saja bisa menasehati (dengan kaku) Zainuddin yang lebih paham agama. Jika memang demikian, maka seharusnya ada proses dimana ia bersimpati kepada Zainuddin dan belajar banyak dari Zainuddin. Bahkan, saya hanya tersenyum ketika kaki Hayati turun dari mobil (mengingatkan Rose di Titanic), seluruh penumpang yang melambai dengan sapu tangan putih dan kapal yang tenang itu tiba-tiba tenggelam. Perlu diketahui bahwa dalam novel Life of PI, kapal Tsim Tsum tenggelam begitu saja dengan suara menggelegak. Tapi itu hanya berlaku di novel. Dalam filmnya, justru penggambarannya lebih dahsyat dengan adanya badai sehingga terkesan wajar dan logis.

Sebenarnya, kesalahan mendasar dari film ini adalah ingin setia pada novelnya, lalu dengan menggembar-gemborkan proses sulitnya pencarian kapal yang mirip Van Der Wick, latihan bahasa Minang Pevita selama enam bulan, panjangnya proses pembuatan film yang kabarnya sampai lima tahun justru menjadi bumerang bagi film ini sehingga film ini lebih terkesan amatiran dan dibuat seadanya.

Saya menulis ini bukannya tidak menghargai film lokal, tetapi saya menghargai film bagus, tidak peduli itu film Hollywood, India, Mandarin, Iran, Korea, maupun lokal. Sampai kapan kita memiliki film dengan standar dialog, adegan, kualitas gambar maupun musik yang baik.

Jangan tertipu dengan trailer. Sebaiknya, simpan uang Anda untuk menonton film lain seperti 47 Ronin besok, Frozen atau American Hustle nanti ketimbang nonton TKVDW.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun