Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Politik

SEMA no. 11 Tahun 1964, Berlakukah pada Ahok?

25 Februari 2017   05:49 Diperbarui: 25 Februari 2017   16:00 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kelompok yang ingin melengserkan Basuki Tjahaya Purnama (BPTP) alias Ahok, sebagai Gubernur DKI Jakarta terus menerus dilakukan. Bukan saja, hanya dengan aksi demo dengan label #Bela Agama #Bela Islam #Bela Al-Qur’an, berlanjut dengan #Bela Ulama, setelah Ahok melakukan dianggap penistaan terhadap agama Islam, ketika di Pulau Pramka Kepulauan Seribu dengan mengutip surah Al-Maidah 51. namun jauh sebelumnya, kedudukan Ahok didongkel lewat berbagai isu kebijakan yang dilakukannya. Antara lain, reklamasi laut dan pembelian lahan RS Sumber Waras. Bahkan kebijakan normalisasi kawasan bantaran sungai pun, dianggap tak manusiawi dan melanggar HAM.

Pengancuran karakter Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, pun dilakukan setelah Pikada serentak usai. Yaitu dengan menggugat keberadaannya, melali undang-undang pasal no. 23 tentang ayat 83 (1), yang memunculkan berbagai polemik antara yang pro dan kontra. Pasal itu, memuat bahwa Pasal 83 (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara pasal yang disangkakan, pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

 Namun titik berat yang diungkit pada keteran pasal ini, yaitu tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa perbuatan Ahok, bisa dikategorikan pada keterangan terakhir tersebut. Padahal, apabila meruntnut pada peristiwa sangkaan penistaan ini, awalnya ketika Buni Yani mengedit sebanyak 7 kali pernyataan Ahok dalam jejering sosail FB-nya. Kemudian disambut dan digoreng oleh Rizieq Shihab, dengan segenap bolonya melakukan  aksi 411, 212, sehingga Kapolri Tito Karnavian, melakukan diskresi (pengambilan keputusan sendiri) untuk memeriksa kasus ini. Padahal dalam radiogram Kapolri sebelumnya, meminta agar mengabaikan setiap pelaporan atau aduan pada Paslon ketika Pilkada.

Sejatinya, siapakah yang memecah belah NKRI tersebut? Sementara, masyarakat Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu, sebagai lokasi tempat kejadian yang dianggap penistaan agama, berjalan seperti biasanya. Bahkan raihan suara paslon Basuki Tjahaya Purnama dan Djarot Saiful Hidayat (Badja) memperoleh kemanangan.

Belum lagi reda terhadap polemik harus mundurnya Ahok, karena mungkin Mendagri Cahyo Kumolo, telah mendapat jawaban ketika meminta fatwa MA, maka dimunculkanlah SEMA lawas ini, ke berbagai jejring sosial. Melihat tampilan isi SEMA itu, terlihat agak janggal. Salah satunya, pada tahun 1964 sudah digunakan huruf Times Roman. Selain itu, runtutan kalimat yang digunakan dalam SEMA itu menggunakan EYD yang baru digunakan pada tahun 1972. Sehingga ada yang menganggap sebagai hoax. Meskipun pengunduhan SEMA itu, dari portal resmi.

Bagi yang tak malas untuk menelusuri kedudukan SEMA, barangkali dianggap sebuah senjata untuk mengukuhkan bahwa terhadap penista agama harus dihukum berat! Padahal, jika melihat kedudukan SEMA hanyalah sebagai imbauan intern pada saat terbitnya. Logikanya, pada era tahun 1960-an, sebelum meletusnya G.30.S.PKI kasus penistaan agama secara terang-terangan banyak dilakukan. Namun dengan terbitnya Pasal 156a KUHP adalah pasal yang diselipkan keadalam KUHP (bukan dari awal sudah ada). Pasal tersebut lahir,  diselipkan kedalam KUHP berdasarkan perintah Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Jadi, jelaslah bahwa SEMA no. 11 tahun 1964 bisa saja dianggap tak ada lagi, karena telah dirumuskan batasan hukuman yang harus dikenakan.

Hal ini, alasannya bukan saja Undang-Undang dibatalkan oleh peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, tetapi juga dikarenakan SEMA sendiri bersifat peraturan kebijakan dengan beberapa alasan. Diantaranya, dilihat dari bentuknya Surat Edaran Mahkamah Agung tidak memiliki bentuk formal yang serupa dengan peraturan perundang-undangan pada umumnya. Keadaan itu, bisa dikenali bahwa peraturan perundang-undangan memiliki bagian-bagian pembentuk seperti Penamaan, Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penutup.

Namun bagian-bagian ini, tak utuh dijumpai dalam SEMA sehingga dari segi formal dapat kita tarik asumsi, bahwa SEMA bukanlah sebuah Peraturan Perundang-Undangan.

Menurut Prof. Jimmly Asshidiqie, surat edaran diklasifikasikan dalam aturan kebijakan atau quasi legislationdari segi penamaan dengan mengacuhkan dasar hukum keberlakuan tiap-tiap surat edaran, maka dapat diasumsikan SEMA sebuah peraturan kebijakan (bleidsregel)

Setrut dengan itu, apabila dilihat dari obyek norma, SEMA hanyalah ditunjukan kepada hakim, ketua pengadilan, panitera, ataupun pejabat dalam lingkungan peradilan sehingga sesuai dengan sifat aturan kebijakan yang mengatur kedalam internal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun