Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kenapa Isu Pangan Begitu "Seksi" di Mata Oposisi?

18 Februari 2019   07:37 Diperbarui: 18 Februari 2019   10:42 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soal pangan mungkin dianggap sesuatu yang sangat rentan bagi Pemerintahan Jokowi, itu dimata Oposisi ya, namanya Juga Oposisi tentunya selalu mencari celah kelemahan ketimbang melihat sisi keberhasilan.

Tapi sayangnya, dalam mengungkapkan hal-hal yang menyangkut isu pangan, seringkali kubu Oposisi tidak dilengkapi data yang valid, sehingga isu-isu tersebut sangat mudah dimentahkan, apalagi masyarakat yang sudah merasakan pelayanan Pemerintah terhadap ketersediaan pangan, pastinya tidak terlalu peduli dengan isu tersebut.

Bagi kubu Oposisi, isu pangan begitu seksi, sehingga sering dipolitisasi dalam setiap kampanye, baik Capres maupun Cawapres. Terutama persoalan tingginya harga-harga bahan pokok kebutuhan sehari-hari masyarakat, padahal realitas dipasarannya tidaklah demikian.

Seperti yang dilansir Republika.co.id, pengamat politik dari Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, mengatakan bahwa tidak ada negara yang tidak mengeluarkan kebijakan impor, asalkan harga pangan tetap stabil.  "Isu pangan bisa saja menjadi isu andalan. Di luar isu infrastruktur. Isu pangan saat ini dan ke depan akan tetap menjadi primadona. Dan akan menjadi isu yang mendominasi hari-hari ke depan," kata Direktur Eksekutif IPR ini.

Menurutnya, isu pangan menjadi eksentrik dan menarik karena selama ini kubu oposisi selalu menyerang  petahana dengan isu pangan. Misalnya terkait dengan impor. "Namun tidak ada negara di dunia ini yang tidak impor. Dan yang paling penting adalah pemerintah bisa menjaga kestabilan harga pangan," kata Ujang.

Tolok ukur dari keberhasilan pengadaan pangan, bukan saja dilihat dari kemampuan swasembada pangan, tapi juga menjaga ketersediaannya, dan menjaga kestabilan harganya. Seperti biasa, masyarakat memiliki parameter sendiri dalam hal ini.

Ketika pemerintah mampu menjaga ketersediaannya, dan menjaga stabilitas harganya menjelang idul fitri, maka masyarakat menganggap Pemerintah sudah berhasil mengendalikan pangan. Ini sangat realistis sebetulnya, memang Pendapat masyarakatlah yang menjadi patokannya.

Konsentrasi Jokowi bukan saja pada swasembada pangan, tapi bagaimana menciptakan kedaulatan pangan. Swasembada pangan selama ini selalu yang menjadi acuan adalah swasembada beras, baik pada pemerintahan Orde Baru, maupun pemerintahan Orde reformasi.

Padahal, tujuan akhir dari swasembada itu adalah kedaulatan, bagaimana membuat Indonesia bisa berdaulat secara pangan, berdaulat dalam bidang enegri, dan mampu mengembalikan kedualatan negara secara utuh, artinya hal-hal yang menyangkut kebutuhan masyarakat sudah kita kelola sendiri, sesuai dengan amanat UUD 45.

Selama 4 tahun pemerintahan Jokowi, kerja nyata dalam bidang pertanian, mampu meningkatkan PDB pertanian setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS, PDB Tahun 2013, 994,8 Triliun, dan ditahun 2018 meningkat menjadi, 1.463,9 Triliun. Artinya ada kenaikan sekitar 47,2% yang nilainya akumulasi kenaikannya sebesar, 1.375,2 Triliun (separuh APBN).

Sumber : BPS
Sumber : BPS
Progress kerja nyata Pemerintah tersebut bukanlah hal yang main-main, meningkatnya PDB pertanian tersebut sangatlah berarti bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, itu adalah sebuah prestasi yang sangat patut diapresiasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun